Selasa, 29 November 2011

Masalah Pendidikan di Indonesia

Peran Pendidikan dalam Pembangunan


Pendidikan mempunyai tugas menyiapkan sumber daya manusia unuk pembangunan. Derap langkah pembangunan selalu diupayakan seirama dengan tuntutan zaman. Perkembangan zaman selalu memunculkan persoalan-persoalan baru yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Bab ini akan mengkaji mengenai permasalahan pokok pendidikan, dan saling keterkaitan antara pokok tersbut, faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangannya dan masalah-masalah aktual beserta cara penanggulangannya.

Apa jadinya bila pembangunan di Indonesia tidak dibarengi dengan pembangunan di bidang pendidikan?. Walaupun pembangunan fisiknya baik, tetapi apa gunanya bila moral bangsa terpuruk. Jika hal tersebut terjadi, bidang ekonomi akan bermasalah, karena tiap orang akan korupsi. Sehingga lambat laun akan datang hari dimana negara dan bangsa ini hancur. Oleh karena itu, untuk pencegahannya, pendidikan harus dijadikan salah satu prioritas dalam pembangunan negeri ini. 
Pemerintah dan Solusi Permasalahan Pendidikan

Mengenai masalah pedidikan, perhatian pemerintah kita masih terasa sangat minim. Gambaran ini tercermin dari beragamnya masalah pendidikan yang makin rumit. Kualitas siswa masih rendah, pengajar kurang profesional, biaya pendidikan yang mahal, bahkan aturan UU Pendidikan kacau. Dampak dari pendidikan yang buruk itu, negeri kita kedepannya makin terpuruk. Keterpurukan ini dapat juga akibat dari kecilnya rata-rata alokasi anggaran pendidikan baik di tingkat nasional, propinsi, maupun kota dan kabupaten.

Penyelesaian masalah pendidikan tidak semestinya dilakukan secara terpisah-pisah, tetapi harus ditempuh langkah atau tindakan yang sifatnya menyeluruh. Artinya, kita tidak hanya memperhatikan kepada kenaikkan anggaran saja. Sebab percuma saja, jika kualitas Sumber Daya Manusia dan mutu pendidikan di Indonesia masih rendah. Masalah penyelenggaraan Wajib Belajar Sembilan tahun sejatinya masih menjadi PR besar bagi kita. Kenyataan yang dapat kita lihat bahwa banyak di daerah-daerah pinggiran yang tidak memiliki sarana pendidikan yang memadai. Dengan terbengkalainya program wajib belajar sembilan tahun mengakibatkan anak-anak Indonesia masih banyak yang putus sekolah sebelum mereka menyelesaikan wajib belajar sembilan tahun. Dengan kondisi tersebut, bila tidak ada perubahan kebijakan yang signifikan, sulit bagi bangsa ini keluar dari masalah-masalah pendidikan yang ada, apalagi bertahan pada kompetisi di era global.

Kondisi ideal dalam bidang pendidikan di Indonesia adalah tiap anak bisa sekolah minimal hingga tingkat SMA tanpa membedakan status karena itulah hak mereka. Namun hal tersebut sangat sulit untuk direalisasikan pada saat ini. Oleh karena itu, setidaknya setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk mengenyam dunia pendidikan. Jika mencermati permasalahan di atas, terjadi sebuah ketidakadilan antara si kaya dan si miskin. Seolah sekolah hanya milik orang kaya saja sehingga orang yang kekurangan merasa minder untuk bersekolah dan bergaul dengan mereka. Ditambah lagi publikasi dari sekolah mengenai beasiswa sangatlah minim.

Sekolah-sekolah gratis di Indonesia seharusnya memiliki fasilitas yang memadai, staf pengajar yang berkompetensi, kurikulum yang tepat, dan memiliki sistem administrasi dan birokrasi yang baik dan tidak berbelit-belit. Akan tetapi, pada kenyataannya, sekolah-sekolah gratis adalah sekolah yang terdapat di daerah terpencil yang kumuh dan segala sesuatunya tidak dapat menunjang bangku persekolahan sehingga timbul pertanyaan ,”Benarkah sekolah tersebut gratis? Kalaupun iya, ya wajar karena sangat memprihatinkan.”
Penyelenggaraan Pendidikan yang Berkualitas

”Pendidikan bermutu itu mahal”. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, — sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.

Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha. Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang kadang berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”.

Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.
Privatisasi dan Swastanisasi Sektor Pendidikan

Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).

Dalam APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.

Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.

Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan agenda kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.

Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Perancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.

Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk cuci tangan.***

Selasa, 22 November 2011

KADER LINGKUNGAN DAN PENGELOLAAN SAMPAH BERBASIS MASYARAKAT

Dalam rangka mendukung pengelolaan sampah berbasis masyarakat di DKI Jakarta, Japan Bank for International Cooperation (JBIC) pada bulan Agustus 2007 sampai dengan Januari 2008 melakukan studi dan pengembangan partisipasi masyarakat dalam mengelola sampah di RW 01 dan RW 02 Kelurahan Cempaka Putih Timur, Jakarta Pusat. Implementasi kegiatan tersebut diawali dengan Pelatihan Daur Ulang dan Pengomposan Sampah Rumah Tangga yang dilaksanakan pada tanggal 7 Oktober 2007.

Kader lingkungan yang dididik oleh JBIC dalam pelatihan tersebut berjumlah 42 orang yang terdiri atas kader yang bermukim di RW 01 dan RW 02 (berjumlah 31 kader) dan yang bermukim di luar kedua RW tersebut (11 kader). Jumlah kader lingkungan yang bermukim di RW 01 berjumlah 22 orang sedangkan di RW 02 berjumlah 9 orang. Tujuh kader di antaranya, merangkap sebagai kader Yayasan Uli Peduli. Sedangkan kader lingkungan yang tidak bermukim di kedua RW tersebut terdiri atas tukang gerobak (4 kader), anggota LSM (6 kader), dan staf Dinas Kebersihan (1 kader). Dengan adanya program dari JBIC, jumlah total kader lingkungan di wilayah RW 01 dan RW 02 Kelurahan Cempaka Putih Timur menjadi 77 orang yang pada mulanya hanya 53 orang. Komposisi kader lingkungan didominasi oleh para ibu (70%), sisanya pria (30%).

Para kader lingkungan memiliki tanggung jawab untuk mengajak para tetangganya menjaga kualitas lingkungan hidup di sekitar rumah masing-masing terutama masalah kebersihan dan daur ulang sampah. Para kader lingkungan juga mempunyai kewajiban untuk memberikan pengetahuan dan keterampilan pengolahan sampahnya kepada yang membutuhkan.

Untuk melihat aktivitas nyata para kader lingkungan, setelah pelatihan, dilakukan monitoring secara reguler. Pelaksanaan monitoring juga dilakukan sekaligus untuk pendampingan dan pembinaan kepada para kader lingkungan sehingga apabila menemui kesulitan dalam melakukan aktivitasnya dapat segera diatasi. Monitoring kegiatan dilakukan dengan cara (i) wawancara secara langsung dengan para kader lingkungan, (ii) penyebaran kuesioner, dan (ii) kunjungan monitoring secara reguler 3 – 4 minggu sekali ke para kader lingkungan. Selain itu dilakukan juga berkoordinasi dengan para stakeholders yang terkait, misalnya Suku Dinas Kebersihan Jakarta Pusat, Pusat Teknlogi Lingkungan – BPPT, Yayasan Uli Peduli, dan Pemerintah Kelurahan Cempaka Putih Timur.

SISTEM PENGELOLAAN SAMPAH TERINTEGRASI

RW 01 dan RW 02 Kelurahan Cempaka Putih Timur merupakan daerah permukiman padat penduduk dengan jumlah KK 1.265 atau sekitar 5.060 jiwa. Diperkirakan jumlah sampah yang diproduksi perharinya 15 m3. Sampah warga didominasi oleh sampah organik, 65,55%. Sedangkan sampah lainnya adalah sampah anorganik yang didominasi oleh sampah kertas (10,57%) dan plastik (13,25%)



Oleh sebagian warga dan para kader lingkungan sampah yang dihasilkannya dipilah-pilah untuk kemudian dikomposkan dan dimanfaatkan menjadi kerajinan tangan. Residu sampahnya kemudian dibuang ke temat sampah. Tempat sampah yang digunakan oleh warga cukup beragam seperti tong plastik, drum seng, bak yang disemen, ember plastik, dan kantong plastik. Namun, Sebagian besar wadah sampah yang dipakai berupa drum dan tong plastik karena gampang dipindah-pindah dan tidak permanen sesuai dengan lingkungan jalan yang sebagian besar berupa gang yang tidak terlalu lebar dan tanpa trotoar. Wadah sampah dan komposter diletakan di depan rumah atau di pinggir-pinggir jalan masuk.

Sampah dari rumah tangga yang tidak diolah menjadi kompos kemudian dikumpulkan ke dalam gerobak sampah setiap 2 – 3 hari sekali dan diangkut ke kompleks Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Rawasari yang dikelola oleh Dinas kebersihan DKI Jakarta bekerjasama dengan BPPT. Di TPST tersebut, sebagian besar sampah dikomposkan dan didaur ulang, dan sebagian lainnya dimasukkan ke TPS indoor untuk dipres dan diangkut ke TPA Bantargebang. Sebagian kecil residu sampah dibakar di dalam incinerator.

PENGELOLAAN SAMPAH MANDIRI

Salah satu RT yang paling menonjol dalam pengelolaan sampahnya adalah RT 04 dan RT 08 RW 01. Kegiatan penghijauan lingkungan di RT tersebut telah dimulai sejak tahun 2004 oleh ibu-ibu yang tergabung dalam dasa wisma. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila pada tahun 2005 menjadi juara 2 Lomba Penghijauan tingkat DKI Jakarta. Selanjutnya pada tahun 2006, kegiatan penghijauan dan pengelolaan kebersihan mendapatkan perhargaan dalam lomba “Green and Clean 2006” yang diadakan oleh Yayasan Uli Peduli.

Dari hasil studi diketahui bahwa sebanyak 53% kader lingkungan telah melakukan pemilahan sampah dan pengomposan sampah setiap hari, sedangkan sebagian lainnya melakukannya 2 – 3 hari sekali. Sebanyak 89% kader lingkungan yang tidak mengomposkan setiap hari beralasan karena jumlah sampah organiknya sedikit. Sedangkan lainnya beralasan sibuk.

Sampah organik yang dikomposkan antara lain berupa daun-daun pohon, sampah tanaman hias, kulit buah, sisa potongan sayur sebelum dimasak, dan sisa makanan. Jenis sampah yang dominan dikomposkan berupa sampah daun, kulit buah dan potongan sayuran.

Jika dilihat dari jumlah sampah yang dikomposkan, maka jumlah jumlah sampah yang dikomposkan di RW 01 juga semakin meningkat. Pada saat sebelum pilot project berjalan, sampah yang dikomposkan diperkirakan hanya 624 liter per bulan, tetapi setelah pilot project berjalan sampah yang dikomposkan menjadi 984 liter per bulan. Sejalan dengan peningkatan jumlah pengomposan, jumlah produk kompos juga diperkirakan meningkat dari 156 liter menjadi 246 liter perbulannya.

Pengelolaan sampah anorganik juga tidak kalah pentingnya dengan pengomposan. Sebanyak 42% kader lingkungan menyatakan telah memanfaatkannya kembali sampah plastik antara lain untuk pot dan kerajinan tangan. Sedangkan sebanyak 21% mengumpulkan dan memberikannya kepada pemulung. Namun ternyata masih ada kader lingkungan (sebanyak 10%) yang belum memanfaatkannya dan sampah anorganiknya langsung dibuang ke tempat sampah sebagaimana residu sampah lainnya.

Sampah plastik yang dijadikan pot umumnya adalah botol/gelas air mineral dan kaleng plastik cat. Sedangkan sampah plastik yang biasanya dibuat kerajinan adalah plastik-plastik kemasan yang tebal dan berpenampilan bagus.

Salah seorang kader lingkungan, Bapak Hendrik (RT 08/RW 02), telah memanfaatkan secara khusus kaleng plastik cat untuk bahan baku komposter yang dipesan oleh Yayasan Uli Peduli untuk disebarkan di berbagai tempat di Jakarta. Kaleng cat tersebut didesain sedemikian rupa dan dicat warna-warni sehingga penampilannya menarik.

Sementara itu, kader lingkungan Ibu Tri Darmayanti (RT 08/RW 02), telah mendapatkan pelatihan khusus pembuatan kerajinan tangan berbahan baku plastik kemasan dari Yayasan Uli Peduli. Produk kerajinan tersebut berupa tas, dompet, tempat tissue, taplak meja, karpet, dsb. Ibu Tri mendapatkan pula bantuan mesin jahit dari Yayasan Uli Peduli. Produk-produk kerajinan tersebut dijual di beberapa pusat-pusat pertokoan di Jakarta.

Seperti halnya di Banjarsari (Jakarta Selatan), di lokasi tersebut juga memiliki motivator pengelolaan sampah seperti halnya Ibu Bambang Wahono. Usianya pun hampir sama yakni 70-an, tetapi semangatnya masih menyala-nyala.

PESAN GUBERNUR DKI JAKARTA

Untuk mensosialisasikan pengelolaan sampah berbasis masyarakat di Jakarta, diadakanlah sebuah acara yang dihadiri oleh Gubernur DKI Jakarta pada awal tahun 2008. Pada acara tersebut, Gubernur mencanangkan “Gerakan Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat”. Rangkaian acara tersebut meliputi kunjungan Gubernur DKI Jakarta beserta stafnya ke RW 01. Setelah itu, Gubernur berjalan kaki menuju kompleks TPST Rawasari yang berjarak sekitar 200 meter. Di TPST tersebut Gubernur meninjau kegiatan pengomposan dan daur ulang sampah skala kawasan dan ke TPS Indoor. Acara kunjungan ke berbagai tempat tersebut dilanjutkan dengan dialog dengan warga Jakarta tentang permasalahan lingkungan yang dihadapi.
Gubernur Fauzi Bowo dalam sambutannya mengatakan bahwa melibatkan peran serta kader lingkungan dan warga masyarakat sangatlah efektif dalam mereduksi sampah sehingga biaya trasportasi sampah semakin efisien dan umur TPA Bantargebang semakin panjang. Disamping itu, melibatkan masyarakat untuk mengolah sampah memberikan manfaat bagi masyarakat itu sendiri. Gubernur mengakui butuh waktu yang panjang untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk mengolah sampahnya secara mandiri. Oleh karena itu diperlukan pimpinan komunitas dan kader-kader lingkungan yang tekun untuk menumbuhkan kesadaran warga mengolah sampahnya sendiri. ***


Tulisan Pelengkap :


TEMPAT PENGOLAHAN SAMPAH TERPADU (TPST) RAWASARI


Tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) Rawasari pertama kali dibangun pada tahun 2000 dengan dana APBD Pemda DKI Jakarta dalam Kegiatan Pengelolaan Sampah Kota secara Terpadu Menuju Zero Waste. Kegiatan tersebut dimaksudkan sebagai penyediaan sarana pengelolaan sampah skala kawasan di Jakarta.

Pengelolaan TPST Rawasari dilaksanakan secara bersama antara Pusat Teknologi Lingkungan – BPPT (sebagai lembaga riset teknologi) dan Dinas Kebersihan DKI Jakarta. Pada tahun 2005, TPST Rawasari dikembangkan oleh BPPT dengan memperluas bangunan pengomposan dan peningkatan kegiatan operasionalnya. Selanjutnya pada tahun 2007, di-install mesin-mesin daur ulang sampah sehingga performansi TPST Rawasari semakin lengkap.

Saat ini pengembangan TPST Rawasari juga diintegrasikan dengan pengelolaan sampah berbasis masyarakat yang dilakukan oleh RW 01 dan RW 02 Kelurahan Cempaka Putih Timur- Jakarta Pusat. Di dalam kompleks Rawasari terdapat beberapa fasilitas pengelolaan sampah yaitu composting hall, pelbagai mesin daur ulang sampah anorganik, TPS Indoor, dan incinerator kecil.

Saat ini, sebagian besar sampah yang tidak diolah sendiri oleh warga RW 01 dan 02 dibawa ke kompleks TPST Rawasari. Di TPST, sebagian sampah dikomposkan dan didaur ulang, dan sebagian lainnya dimasukkan ke TPS indoor untuk dipres dan diangkut ke TPA Bantargebang. Sebagian kecil residu sampah dibakar di dalam incinerator kecil.

Dengan adanya integrasi pengolahan sampah di tingkat masyarakat dan di TPST Rawasari, volume sampah yang diangkut ke TPA menjadi berkurang sehingga mengurangi ongkos pengangkutan sampah dan memperpanjang umur TPA. Selain itu, didapatkan pula produk samping yang bermanfaat seperti pupuk kompos, produk daur ulang plastik, kertas, dsb. Model pengelolaan sampah tersebut dapat direplikasi di tempat lainnya sesuai dengan kondisi daerahnya.
 
sumber: http://yusmanov.blogspot.com/2010/02/kader-lingkungan-dan-pengelolaan-sampah.html

Selasa, 15 November 2011

Anak jalanan




Anak jalanan atau sering disingkat anjal adalah sebuah istilah umum yang mengacu pada anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi di jalanan, namun masih memiliki hubungan dengan keluarganya. Tapi hingga kini belum ada pengertian anak jalanan yang dapat dijadikan acuan bagi semua pihak.
Pengelompokan
Di tengah ketiadaan pengertian untuk anak jalanan, dapat ditemui adanya pengelompokan anak jalanan berdasar hubungan mereka dengan keluarga. Pada mulanya ada dua kategori anak jalanan, yaitu anak-anak yang turun ke jalanan dan anak-anak yang ada di jalanan. Namun pada perkembangannya ada penambahan kategori, yaitu anak-anak dari keluarga yang ada di jalanan.
Pengertian untuk kategori pertama adalah anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi di jalanan yang masih memiliki hubungan dengan keluarga. Ada dua kelompok anak jalanan dalam kategori ini, yaitu anak-anak yang tinggal bersama orangtuanya dan senantiasa pulang ke rumah setiap hari, dan anak-anak yang melakukan kegiatan ekonomi dan tinggal di jalanan namun masih mempertahankan hubungan dengan keluarga dengan cara pulang baik berkala ataupun dengan jadwal yang tidak rutin.
Kategori kedua adalah anak-anak yang menghabiskan seluruh atau sebagian besar waktunya di jalanan dan tidak memiliki hubungan atau ia memutuskan hubungan dengan orangtua atau keluarganya.
Kategori ketiga adalah anak-anak yang menghabiskan seluruh waktunya di jalanan yang berasal dari keluarga yang hidup atau tinggalnya juga di jalanan.
Kategori keempat adalah anak berusia 5-17 tahun yang rentan bekerja di jalanan, anak yang bekerja dijalana, dan/atau yang bekerja dan hidup dijalanan yang menghabiskan sebagaian besar waktunya untuk melakukan kegiatan hidup sehari-hari.


Mensos Optimistis
Jakarta Bebas Anak Jalanan

Senin, 7 November 2011
JAKARTA (Suara Karya): Target Jakarta bakal terbebas dari anak jalanan (anjal), bakal menjadi kenyataan pada akhir Novembver ini. Hal itu ditandai dengan telah dibagikannya buku tabungan kepada 8.000 anjal dalam Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA).
Demikian dinyatakan Menteri Sosial, Salim Segaf Al Jufri, usai Takbir Bersama para anak yatim dan anjal, di Yayasan Uswatun Hasanah, Cengkareng, Jakarta Barat, Sabtu. Takbir itu dilakukan dalam rangka merayakan Idul Adha 1432 Hijriyah.
Lebih lanjut Mensos mengungkapkan, Kementerian Sosial (Kemensos) tetap berkomitmen, untuk mengembalikan anjal kepada orangtua dan kembali bersekolah. "Komitmen itu terus berjalan. Insya Allah akhir November atau paling lambat pertengahan Desember tahun ini, 8.000 anjal di Ibu kota sudah terima tabungan," paparnya.
Jumlah itu, sebut Mensos, sesuai dengan data yang ada di DKI Jakarta pada tahun 2011 ini. Memang diakuinya, sampai saat ini baru 3.325 anjal yang sudah menerima buku tabungan. Dana itu dialokasikan dari APBN tahun 2011 sebanyak Rp 4,9 miliar.
Disebutkan, dengan data itu berarti masih 4.675 anjal yang belum menerima tabungan. Kekurangan itu, ujar Mensos, sesungguhnya sudah terpenuhi dari APBN hasil penghematan sebanyak Rp 5,7 miliar, yang dibagikan untuk 3.837 anjal. "Sisanya 364 anak lagi dari APBD DKI Jakarta sebanyak Rp 398 juta," ujarnya.
Selain itu, sambung Mensos, juga dari dana hibah UKS Rp 385 juta untuk 214 anak dan CSR Medco Foundation sebesar Rp 390 juta untuk 260 anak. Sehingga total dana pembinaan 8.000 anak jalanan mencapai Rp 11,9 miliar.
Sementara itu, untuk pengawasan agar para anjal tidak kembali lagi ke jalanan, Mensos menyatakan, pihaknya akan bekerja sama dengan sejumlah rumah singgah. Selain itu, juga berkordinasi dengan dinas terkait dan relawan.

Tim Reaksi Cepat Tangani Anak Jalanan
JAKARTA – Pemerintah telah membentuk Tim Reaksi Cepat atau TRC untuk menangani berbagai masalah anak-anak baik anak telantar,anak jalanan (anjal), korban narkoba, dan lainnya.


Pembentukan TRC adalah bagian dari program penanggulangan kemiskinan dengan leading sector Kementerian Sosial. Direktur Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Kemensos Makmur Sunusi mengatakan, anjal merupakan sasaran pembinaan jangka panjang. Menurut dia, aksi pemalakan, kekerasan, dan banyaknya anjal yang dijadikan pekerja seks komersial (PSK) menjadi perhatian serius jajarannya.

Dalam hal ini,TRC turun tangan berupaya menyelamatkan anjal dari berbagai kerawanan tersebut. “TRC bergerak secara terkoordinasi dengan berbagai pihak terkait agar anjal dapat menikmati pendidikan dan pembinaan demi masa depan mereka.Sebagai tindak lanjut, kami mendirikan berbagai rumah singgah agar anjal mendapat aneka pelatihan supaya mereka mampu mandiri,”ujar Makmur di Jakarta kemarin. Saat ini, kata dia, di DKI Jakarta terdapat sekitar 10.000 anjal.Sekitar 50% di antaranya sudah memiliki tabungan Rp1,5 juta per orang yang dikucurkan dari APBN untuk stimulan kemandirian mereka.

Kemensos pun sudah mendirikan 48 rumah singgah di Ibu Kota. “Banyak pula donor asing yang menyalurkan bantuannya untuk penanganan anjal, gelandangan, dan pengemis. Itu karena negara yang memiliki banyak anjal, gelandangan, dan pengemis, dinilai sebagai negara yang buruk sehingga harus dibantu,” beber Makmur. Untuk mengurangi persoalan ini, mereka yang tercatat tidak memiliki tempat tinggal tetap akan dipulangkan ke daerah masing-masing kemudian diberi bekal keterampilan.

Di berbagai daerah telah didirikan panti-panti sosial bina karya yang khusus menangani gelandangan dan pengemis (gepeng).Panti-panti sosial lain yang fungsi pelayanannya terkait permasalahan anjal adalah panti sosial bina remaja, panti asuhan anak, panti sosial parmadi putra untuk korban narkotika dan zat adiktif (napza), dan panti sosial marsudi putra untuk anak nakal. Selain panti yang terkait penanganan anjal, ada pula panti sosial bina netra untuk tunanetra, panti sosial bina grahita untuk penyandang cacat mental,panti werdha untuk lanjut usia, panti sosial bina daksa untuk penampungan orang-orang cacat tubuh, dan panti sosial rungu wicara.

Anggota komisi VIII DPR Hazrul Azwar mengatakan, bila pemda tidak juga membenahi pengelolaan panti-panti sosial, Kementerian Sosial dapat melakukan evaluasi kemudian mengambil alih kembali agar bisa lebih baik

Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Anak_jalanan
http://www.seputar-indonesia.com

Kamis, 10 November 2011

NASIB PEKERJA RUMAH TANGGA (PRT)

PRT. Sebutan ini merupakan kepanjangan dari Pembantu Rumah Tangga, kini telah digeser menjadi Pekerja Rumah Tangga. Istilah ini ingin menguatkan dan memberi pengakuan terhadap orang yang berkerja pada suatu rumah tangga. Istilah ini dimunculkan mengganti istilah pembantu, pelayan, pramuwisma, atau babu.
Masalah yang satu ini, harus diakui masih kurang mendapat perhatian, baik dalam kontek PRT yang menjadi TKW/migran, PRT anak, maupun persoalan PRT di dalam negeri. Di daerah perkotaan di Indonesia terjadi permintaan yang tinggi akan pekerja rumah tangga (PRT). Kehadiran dan permintaan yang tinggi ini terhadap PRT telah memunculkan persoalan hak asasi manusia. Pertama, jumlah PRT cukup besar sehingga potensi pelanggaran hak-haknya sebagai pekerja juga besar. Hal ini terjadi karena sampai saat ini belum ada peraturan jelas yang mengatur tentang hubungan kerja dan perlindungan hukum bagi para PRT tersebut. Menurut survei Organisasi Buruh Internasional, ILO-IPEC, yang dilaksanakan pada tahun 2003 di Bekasi dan Jakarta Timur, yang kemudian dihitung hasilnya untuk mendapatkan jumlah PRT yang ada di Indonesia, menunjukkan bahwa jumlah seluruh PRT di Indonesia adalah sebanyak 2.593.399 orang, dan jumlah pekerja anak rumah tangga (PART) sebanyak 688.132 anak. Kedua, kenyataan di lapangan memperlihatkan bahwa PRT sangat rentan mendapatkan perlakukan yang tidak adil seperti ketidakpastian dalam hal upah, perlakuan yang tidak manusiawi, dan jam kerja yang tidak menentu. Ketiga, bahwa sebagian besar PRT adalah perempuan dan banyak di antara PRT perempuan yang juga mendapatkan perlakukan kekerasan, baik kekerasan fisik maupun kekerasan seksual, seperti pelecehan seksual sampai pada perkosaan.


MASALAH YANG DIHADAPI PRT

Kasus-kasus kekerasan terhadap PRT sering dilaporkan dalam media massa. Pada banyak kasus, PRT tidak mampu melarikan diri dari siksaan majikan karena mereka tidak memiliki uang dan mereka tidak mengenal lingkungan tempat tinggal mereka. Karena sampai saat ini tidak ada ketentuan hukum yang mengatur proses penerimaan, standar lingkungan kerja, beban kerja dan kondisi kerja untuk PRT, maka PRT rentan mengalami tindak kekerasan.

Masalah PRT memang cukup rumit. Masalah ini semakin rumit karena tidak ada perangkat hukum yang mengaturnya. Masalah ini tidak berhenti pada agen-agen penyalur tenaga kerja yang tidak mengikuti peraturan resmi, namun meluas ke sistem ekonomi, sosial, budaya, dan hukum. Oleh karena itu, masalah PRT adalah masalah struktural dan kondisi kerja yang sangat berkaitan dengan kemiskinan dan pemiskinan.

1. Masalah Struktural
Pekerjaan PRT berkaitan erat dengan fenomena feminisasi kemiskinan. Pekerjaan ini biasanya dilakukan oleh perempuan miskin, terutama dari perdesaan dan diberi upah rendah. Pekerjaan ini juga tidak memiliki jenjang karir serta tidak dilindungi hukum. Oleh karena itu, situasi yang dihadapi PRT bersifat struktural, yakni berkaitan dengan masalah-masalah sosial, ekonomi, budaya, dan hukum. Untuk menanggulangi masalah struktural ini, diperlukan perubahan mendasar, terutama di bidang sosial dan ekonomi pada tingkat nasional. Ada dua masalah struktural utama yang dihadapi oleh PRT.
(1) Kemiskinan. Kemiskinan yang dialami oleh keluarga PRT telah menyebabkan mereka kehilangan kesempatan bersekolah, yang juga menyebabkan mereka tidak mampu memperoleh keterampilan yang diperlukan untuk terjun ke pasar kerja dan mendapatkan pekerjaan yang layak. Akibatnya, mereka terjebak ke dalam kondisi kerja yang tidak layak, yang dapat menjadi kerja paksa. Upah yang rendah menyebabkan mereka pun kelak tidak bisa menyekolahkan anaknya pada tingkat yang lebih tinggi, sehingga anaknya pun tidak akan jauh kondisinya dengan orang tuanya. Mengurangi kemiskinan akan membantu mengurangi kondisi kerja dan hidup PRT yang tidak layak.
(2) Diskriminasi. Diskriminasi yang dialami PRT perempuan dilandasi oleh konstruksi gender dan kelas sosial. Sebagai perempuan miskin yang menawarkan jasa yang dianggap tidak membutuhkan keahlian khusus, menyebabkan PRT tidak mempunyai kekuatan tawarmenawar ketika berhadapan dengan majikan mereka. Konstruksi gender dan kelas sosial juga membuat mereka pasif dan menerima keadaan begitu saja, dan konstruksi gender juga membuat mereka dibayar lebih rendah dari pekerjaan rumah lainnya, misalnya supir. Mengorganisasi PRT agar dapat menumbuhkan kekuatan mereka untuk menolak diskriminasi gender dan kelas sosial akan membantu mengurangi posisi PRT yang lemah.

2. Masalah Kondisi Kerja
Masalah struktural di atas telah menyebabkan PRT berhadapan dengan kondisi kerja yang buruk dalam kehidupan sehari-hari mereka. Tidak seperti masalah struktural lain yang memerlukan solusi jangka panjang dan perubahan yang lebih luas di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, dan hukum, masalah kondisi kerja ini dapat antara lain ditanggulangi dengan solusi jangka menengah melalui advokasi perlindungan hukum PRT. Masalah-masalah kondisi kerja yang dihadapi oleh PRT adalah sebagai berikut:
• Dipekerjakan pada usia muda; kemiskinan menyebabkan mereka meninggalkan rumah pada usia muda karena orang tua tidak mampu lagi menanggung biaya hidupnya.
• Tidak adanya penghargaan dan pengakuan terhadap PRT sebagai pekerja; jam kerja yang panjang, upah yang rendah, tidak adanya tunjangan sosial dan kesehatan, serta bentuk eksploitasi lainnya yang dilakukan oleh majikan.
• Keluarga dianggap sebagai lingkup pribadi yang tidak dapat diganggu oleh pihak luar, sehingga setiap perlakukan kekerasan yang dialami oleh PR tersebut selalu dianggap sebagai persoalan dalam lingkup keluarga dan orang luar enggan terlibat.
• Eksploitasi oleh agen penyalur PRT; agen selalu menarik uang dari hasil jerih payah PRT setiap bulannya. Penarikan tersebut bervariasi antara satu agen dengan agen lainnya.
• Kekerasan seksual; banyak kasus menunjukkan bahwa PRT sering menjadi korban pelecehan seksual atau kekerasaan seksual lainnya oleh majikannya atau keluarga majikannya.
• Rendahnya atau tidak adanya akses untuk mendapatkan informasi; PRT dilarang atau diberi kesempatan sedikit untuk bergaul di luar rumah sehingga tidak mempunyai kerabat yang bisa dihubungi apabila terjadi masalah.

Berikut adalah masalah yang dihadapi PRT secara lebih rinci:
a. Upah Rendah
Upah yang diterima PRT jauh di bawah standar upah yang layak dibandingkan dengan jam kerja dan bentuk pekerjaan. Sebenarnya, pemerintah telah menetapkan standar upah minimum untuk buruh perempuan di sektor formal, namun standar itu tidak mencakup PRT karena mereka dianggap sebagai pekerja domestik di sektor informal. Oleh karena itu, jika dibandingkan dengan upah pekerja lain dan standar hidup secara regional, upah yang diterima PRT paling rendah dengan waktu kerja yang paling panjang. Lebih dari itu, mereka seringkali menerima upah yang lebih rendah daripada yang disepakati sebelumnya. Seharusnya, ada upah standar untuk PRT yang dihitung berdasarkan pengalaman kerja, jenis dan beban kerja, jumlah orang dalam keluarga yang dilayaninya, dan standar hidup regional. Sebenarnya, upah yang layak bukanlah upah minimum, namun harus disesuaikan dengan jam kerja, bentuk pekerjaan, dan pengalaman kerja.

b. Ketiadaan Standar Jam Kerja
Tidak adanya batas yang ditetapkan untuk beban kerja PRT membuat mereka bekerja lebih lama dari masa kerja yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan, yaitu selama delapan jam dalam satu hari. Dalam diskusi yang dilakukan bersama-sama dengan para PRT di kantor LSM Rumpun Tjut Nyak Dien (TND), di Yogjakarta, PRT mengemukakan perlunya standar jam kerja untuk menghindari jam kerja yang sangat panjang, yaitu antara 10-16 jam sehari, mulai jam 05.00 pagi sampai sekitar jam 08.00 hingga 10.00 malam. Standar jam kerja seharusnya mengikuti ketentuan yang lazim, yaitu delapan jam per hari. Terlebih lagi, PRT sulit memperoleh waktu istirahat rutin seperti istirahat mingguan, cuti haid, cuti tahunan, dan cuti melahirkan.

c. Ketiadaan Jaminan Sosial, Asuransi Kesehatan, dan Tunjangan Lainnya
PRT tidak mendapatkan jaminan sosial karena mereka tidak dianggap sebagai pekerja “formal”. Dengan demikian, mereka juga tidak menerima tunjangan kesehatan dan tunjangan lain yang seharusnya diterima oleh pekerja. Jaminan sosial dan tunjangan kesehatan merupakan prasyarat bagi lingkungan kerja yang layak. Karenanya, PRT yang sakit sangat tergantung pada kebaikan majikannya, apakah akan membawanya ke dokter atau hanya mau membelikannya obat di warung. Kalau mendapatkan majikan yang baik, PRT yang sakit juga akan mendapatkan biaya perawatan. Karena hal ini tidak dibakukan, maka semua ini sangat bergantung pada budi baik sang majikan.
Berkaitan dengan hal di atas, perawatan kesehatan PRT membutuhkan perhatian khusus. Sebagaimana diuraikan di bawah, kasus-kasus yang ditangani oleh LSM TND memperlihatkan bahwa banyak masalah yang dihadapi PRT berkaitan dengan kesehatan, baik kesehatan fisik maupun kesehatan mental atau psikologis. Oleh karena itu, hak untuk memperoleh perlindungan dan perawatan kesehatan, selain hak untuk memperoleh informasi, harus menjadi prioritas di dalam agenda advokasi PRT. Dalam hal ini, kesehatan reproduksi PRT memerlukan perhatian khusus karena sebagian besar PRT adalah perempuan tetapi mereka tidak berhak mendapatkan cuti haid dan ada juga yang mengalami perkosaan.

d. Kekerasan Fisik dan Seksual yang dialami oleh PRT
Penelitian lapangan yang dilakukan oleh LSM TND (2003) memperlihatkan bahwa PRT mudah mendapatkan perlakuan kekerasan seksual disebabkan beberapa hal berikut:
• Hubungan antara PRT dengan majikan didasarkan pada kekuasaan dan dominasi, yang dapat diwujudkan dalam bentuk kekerasan fisik atau intimidasi, ancaman, perintah, dan penghinaan yang dilandasi oleh perbedaan kelas sosial dan gender.
• Majikan melihat PRT sebagai orang yang sangat membutuhkan uang tetapi tidak memiliki keterampilan dan pendidikan, sehingga posisi tawar mereka rendah.
• Ketiadaan kontrol sosial dan anggota keluarga lain yang dapat mencegah terjadinya kekerasan seksual terhadap PRT.
Jika seorang PRT hamil akibat hubungan seksual yang dilakukan oleh majikannya, ia akan diminta meninggalkan rumah dan dipandang rendah oleh masyarakat. Sanksi sosial itu menyebabkan beban fisik, psikologis, ekonomi, dan sosial pada PRT. Terlebih lagi, PRT korban kekerasan seksual harus menanggung rasa bersalah sebagai perempuan yang hamil di luar nikah. Selain masalah psikologis, PRT perempuan menderita sakit fisik akibat kekerasan seksual, termasuk kemungkinan terjangkit virus penyakit kelamin.
Untuk mengurangi kerentanan PRT, harus dilakukan usaha-usaha yang sekaligus akan menanggulangi masalah struktural dan masalah kondisi kerja PRT. Namun demikian, hingga saat ini tidak ada perlindungan hukum atas hak-hak PRT, sementara upaya mengorganisasi PRT ternyata lebih sulit jika dibandingkan dengan mengorganisasi pekerja di sektor formal. Adanya kendala-kendala ini telah berkontribusi pada meningkatnya kekerasan fisik dan seksual terhadap PRT.

e. Pembatasan Kebebasan dan Akses untuk Mendapatkan Informasi
Akses PRT untuk mendapatkan informasi, komunikasi, pendidikan, dan hubungan sosial lainnya sangat terbatas. Perlakuan tidak layak dimulai dengan dirampasnya kebebasan PRT oleh majikan mereka, yang menyebabkan mereka tidak dapat berkomunikasi dengan orang lain di luar rumah. Situasi semakin parah dengan adanya nilai sosial yang beranggapan bahwa kehidupan keluarga tidak boleh dicampuri, sehingga semakin sulit untuk menawarkan bantuan kepada PRT yang mengalami kekerasan.

f. Ketiadaan Organisasi Pekerja Rumah Tangga
Dengan keterbatasan akses untuk memperoleh informasi, sangat sulit bagi PRT untuk mendapatkan keterangan tentang pembentukan organisasi yang dapat membela hak mereka sebagai perempuan, pekerja, dan warga negara. Perlindungan hukum terhadap PRT seharusnya menjadi agenda yang paling penting bagi organisasi semacam itu. Masalah ini telah menjadi lingkaran setan. Tanpa perlindungan hukum, hak-hak PRT untuk dapat berkumpul, bersatu, dan membentuk organisasi sangat terbatas. Sebaliknya, ketidakmampuan mereka untuk membentuk organisasi menjadikan mereka sulit untuk memperoleh bantuan untuk melindungi hak, keinginan, dan kebutuhan mereka. Pada masyarakat yang menganggap bahwa pekerjaan PRT itu rendah, PRT mengalami tekanan dari majikan dan juga dari PRT lain ketika mereka ingin membicarakan masalah, kebutuhan, dan minat mereka, serta tidak digubris ketika membicarakan pembentukan organisasi yang dapat mewadahi minat mereka.





STRATEGI PENGATASI PERSOALAN PRT

Stategi untuk mengatasi masalah PRT dapat dilakukan melalui dua pilar utama, yaitu pendidikan-informasi dan pengakuan dan perlindungan hukum.

Pilar pendidikan–informasi
Akses pendidikan – informasi ini adalah “pintu gerbang” atau salah satu “pilar” PRT untuk melakukan perubahan atas kondisinya, membangun posisi tawarnya, mulai melakukan langkah untuk perubahan menuju keadilan – kesetaraan sebagai perempuan, pekerja, warga negara dan manusia.
Ketiadaaan atau kurangnya akses pendidikan–informasi berakibat multidimensi dan berkelanjutan; ketertindasan, eksploitasi, marginalisasi dan kemiskinan berkelanjutan. Ketiadaan atau kurangnya akses pendidikan – informasi yang telah dialami PRT dari keberangkatannya tidak akan mengalami perubahan signifikan untuk pengembangan dirinya ataupun perubahan sosial, apabila layanan pendidkan kritis dan skill tidak mulai dibangun dan kemudian dikembangkan. Dapat dijumpai dalam pendampingan yang di lapangan ataupun survai, akibat langsung dari ketiadaan atau kurangnya akses pendidikan tersebut adalah: PRT tidak atau kurang mengetahui bagaimana mereka mengatasi pekerjaan mereka yang penuh dengan persoalan, tindakan apa yang harus dilakukan jika terjadi kesewenangan dan kekerasan.

Pilar pengakuan dan perlindungan hukum PRT
Pilar lain yang mendasar pula diperlukan PRT adalah pengakuan dan perlindungan hukum PRT baik ditingkat lokal ataupun nasional. Pengakuan dan perlindungan ini adalah yang substansial membongkar adanya ketidakadilan terhadap perempuan dalam stereotype pekerjaan dan juga memberi jaminan perlindungan kepada perempuan yang bekerja di sektor domestik, yang memang mayoritas hingga saat ini perempuan, termasuk hak untuk mengakses hak ekonomi, pendidikan, informasi, sosial, dan hukum.
Akibat atau dampak tidak langsung dari ketiadaan 2 pilar utama terhadap kawan PRT adalah pelanggaran yang berkelanjutan dan meluas atas hak-hak Pekerja Rumah sebagai perempuan, pekerja dan warga negara dan manusia:
• PRT menjadi obyek baik sebagai perempuan, pekerja, warga negara dan manusia Pekerja Rumah Tangga tidak memiliki otoritas, kemerdekaan atas dirinya dalam menentukan pilihan
• PRT sulit mencapai situasi sejahtera dan yang terjadi kemiskinan keberlanjutan, tidak ada atau minim akses pendidikan, ekonomi, sosial, hukum dan politik
• PRT lemah dalam bargaining baik dalam hubungan kerjanya ataupun relasi sosialnya
• Tidak terbangun kesadaran dan tindakan kritis secara kolektif untuk melakukan perubahan sosial
• PRT tidak mengenal status sesungguhnya sebagai pekerja dalam arti sebagai pekerja rumah tangga dan hak - kewajiban yang melingkupinya
• PRT menjadi korban kekerasan yang berkelanjutan

Sebagai manusia, pekerja, apapun latar belakang sosial, ekonomi, pendidikan, asal, ras, pilihan profesi dan bidangnya, serta apapun jenis kelaminnya, sudah seharusnya mendapat penghormatan, perlindungan akan hak-hak asasinya sebagaimana prinsip-prinsip universal hak asasi manusia. Namun penghormatan, penegakan - perlindungan yang demikian, tidak terjadi pada diri PRT ini. Upaya-upaya serius musti dilakukan oleh berbagai pihak secara simultan dan komprehensif. Upaya yang dilakukan harus mampu menjawab kepelikan permasalahan PRT untuk mendapatkan hak-hak dan aksesnya.
Berangkat dari persoalan PRT dan situasi sikap-pandangan kelompok sosial yang terkecil hingga terbesar di atas, maka kita bersama-sama dan mengajak segala pihak melakukan advokasi PRT, antara lain: (1). Kampanye, (2). Legislasi, dan (3). Pengorganisasian.


KESIMPULAN
Nasib yang tengah dihadapi oleh PRT ini perlu mendapat perhatian yang serius dari semua pihak. Keberadaan mereka adalah perjuangan untuk bangkit dari jurang kemiskinan yang semakin hari semakin parah. Mereka adalah komunitas manusia yang termarginalkan. Berbagai persoalan dihadapi komunitas ini, yaitu :
a. Upah Rendah
b. Ketiadaan Standar Jam Kerja
c. Ketiadaan Jaminan Sosial, Asuransi Kesehatan, dan Tunjangan Lainnya
d. Kekerasan Fisik dan Seksual yang dialami oleh PRT
e. Pembatasan Kebebasan dan Akses untuk Mendapatkan Informasi
f. Ketiadaan Organisasi Pekerja Rumah Tangga
Upaya-upaya serius musti dilakukan oleh berbagai pihak secara simultan dan komprehensif. Upaya yang dilakukan harus mampu menjawab kepelikan permasalahan PRT untuk mendapatkan hak-hak dan aksesnya. Kita bersama-sama dan mengajak semua pihak melakukan advokasi PRT, antara lain: (1), Kampanye, (2). Legislasi, dan (3). Pengorganisasian.
Sumber : http://hotibin-ebink.blogspot.com/2009/07/nasib-pekerja-rumah-tangga-prt.html

Selasa, 01 November 2011

Gugur kandungan



Gugur kandungan atau aborsi (bahasa Latin: abortus) adalah berhentinya kehamilan sebelum usia kehamilan 20 minggu yang mengakibatkan kematian janin. Apabila janin lahir selamat (hidup) sebelum 38 minggu namun setelah 20 minggu, maka istilahnya adalah kelahiran prematur.
Dalam ilmu kedokteran, istilah-istilah ini digunakan untuk membedakan aborsi:
• Spontaneous abortion: gugur kandungan yang disebabkan oleh trauma kecelakaan atau sebab-sebab alami.
• Induced abortion atau procured abortion: pengguguran kandungan yang disengaja. Termasuk di dalamnya adalah:
o Therapeutic abortion: pengguguran yang dilakukan karena kehamilan tersebut mengancam kesehatan jasmani atau rohani sang ibu, kadang-kadang dilakukan sesudah pemerkosaan.
o Eugenic abortion: pengguguran yang dilakukan terhadap janin yang cacat.
o Elective abortion: pengguguran yang dilakukan untuk alasan-alasan lain.
Dalam bahasa sehari-hari, istilah "keguguran" biasanya digunakan untuk spontaneous abortion, sementara "aborsi" digunakan untuk induced abortion
Komplikasi medis yang dapat timbul pada ibu
Perforasi
Dalam melakukan dilatasi dan kerokan harus diingat bahwa selalu ada kemungkinan terjadinya perforasi dinding uterus, yang dapat menjurus ke rongga peritoneum, ke ligamentum latum, atau ke kandung kencing. Oleh sebab itu, letak uterus harus ditetapkan lebih dahulu dengan seksama pada awal tindakan, dan pada dilatasi serviks tidak boleh digunakan tekanan berlebihan. Kerokan kuret dimasukkan dengan hati-hati, akan tetapi penarikan kuret ke luar dapat dilakukan dengan tekanan yang lebih besar. Bahaya perforasi ialah perdarahan dan peritonitis. Apabila terjadi perforasi atau diduga terjadi peristiwa itu, penderita harus diawasi dengan seksama dengan mengamati keadaan umum, nadi, tekanan darah, kenaikan suhu, turunnya hemoglobin, dan keadaan perut bawah. Jika keadaan meragukan atau ada tanda-tanda bahaya, sebaiknya dilakukan laparatomi percobaan dengan segera. Luka pada serviks uteri Apabila jaringan serviks keras dan dilatasi dipaksakan maka dapat timbul sobekan pada serviks uteri yang perlu dijahit. Apabila terjadi luka pada ostium uteri internum, maka akibat yang segera timbul ialah perdarahan yang memerlukan pemasangan tampon pada serviks dan vagina. Akibat jangka panjang ialah kemungkinan timbulnya incompetent cerviks. [sunting] Pelekatan pada kavum uteri Melakukan kerokan secara sempurna memerlukan pengalaman. Sisa-sisa hasil konsepsi harus dikeluarkan, tetapi jaringan miometrium jangan sampai terkerok, karena hal itu dapat mengakibatkan terjadinya perlekatan dinding kavum uteri di beberapa tempat. Sebaiknya kerokan dihentikan pada suatu tempat apabila pada suatu tempat tersebut dirasakan bahwa jaringan tidak begitu lembut lagi. [sunting] Perdarahan Kerokan pada kehamilan yang sudah agak tua atau pada mola hidatidosa terdapat bahaya perdarahan. Oleh sebab itu, jika perlu hendaknya dilakukan transfusi darah dan sesudah itu, dimasukkan tampon kasa ke dalam uterus dan vagina. [sunting] Infeksi Apabila syarat asepsis dan antisepsis tidak diindahkan, maka bahaya infeksi sangat besar. Infeksi kandungan yang terjadi dapat menyebar ke seluruh peredaran darah, sehingga menyebabkan kematian. Bahaya lain yang ditimbulkan abortus kriminalis antara lain infeksi pada saluran telur. Akibatnya, sangat mungkin tidak bisa terjadi kehamilan lagi. [sunting] Lain-lain Komplikasi yang dapat timbul dengan segera pada pemberian NaCl hipertonik adalah apabila larutan garam masuk ke dalam rongga peritoneum atau ke dalam pembuluh darah dan menimbulkan gejala-gejala konvulsi, penghentian kerja jantung, penghentian pernapasan, atau hipofibrinogenemia. Sedangkan komplikasi yang dapat ditimbulkan pada pemberian prostaglandin antara lain panas, rasa enek, muntah, dan diare. Komplikasi yang Dapat Timbul Pada Janin: Sesuai dengan tujuan dari abortus itu sendiri yaitu ingin mengakhiri kehamilan, maka nasib janin pada kasus abortus provokatus kriminalis sebagian besar meninggal. Kalaupun bisa hidup, itu berarti tindakan abortus gagal dilakukan dan janin kemungkinan besar mengalami cacat fisik.

Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Gugur_kandungan


Marak Praktek Aborsi di Desa-desa Madura

Sumenep - Praktek-praktek aborsi yang dilakukan dukun bayi di desa-desa Sumenep-Madura, seakan tiada habisnya. Seakan ada imbal balik antara warga dan dukun bayi, keduanya saling membutuhkan dan makin diminati.

Seperti praktek aborsi yang dilakukan dukun bayi di Desa Gapura Barat Kecamatan Gapura, Kabupaten Sumenep, Madura. Tanpa memeriksa kesehatan atau tensi, sang dukun bayi langsung memijat perut seorang ibu yang berusia 3 bulan. Padahal jika ada permintaan aborsi yang datang ke dokter, beberapa persyaratan pun harus dipenuhi.

Sebut saja IA (65). Wanita yang dikaruniai 1 anak dan 2 cucu ini dengan mudah memijat dan mengeluarkan janin yang sudah dikandung oleh seorang ibu. Sekitar 20-30 menit proses pemijatan, perut sang ibu sudah mengempes.

Dari proses pijatan itulah, sang ibu lambat laun akan mengeluarkan darah segar yang menandai hilangnya nyawa jabang bayi. Lalu, si wanita disodori minuman dingin dan bercampur alkohol.

Perlahan-lahan rasa sakit perut sang ibu akan terasa. Lebih-lebih setelah pulang ke rumahnya. Hal itu dibarengi dengan keluarnya gumpalan darah dari kemaluannya. Namun bagi yang baru terlambat bulan, prosesnya lebih cepat dan rasa sakitnya lebih ringan.

Dugaan praktek aborsi di rumah IA berlangsung sejak 5 tahun lalu atau sejak IA berusia 30 tahun. Dia mengaku sebelum menjadi dukun bayi, IA menjadi petani yang sehari-hari menggarap jagung dan kacang-kacangan. Namun suatu saat dirinya bermimpi yang menunjukkan sesuatu jika mempunyai kemampuan untuk menjadi dukun aborsi.

"Berawal dari mencoba itulah ternyata saya mampu menjadi dukun aborsi," kata IA kepada wartawan di kamar prakteknya seraya mewanti-wanti namanya tidak disebut, Senin (23/11/2009).

Kemampuan menjadi dukun aborsi pun bersambut yang dibuktikan dengan banyaknya pasien. "Hasilnya mendekati sesuai dengan harapan pasien," ungkapnya.

Dia juga memastikan jika risiko yang akan dialami sakit perut dan akan mengeluarkan gumpalan darah segar. Namun, untuk tingkat kematian sang ibu potensinya sangat kecil, sebab proses pemijatan dilakukan berulang kali bagi kandungan yang sudah berumur 3 bulan.

"Kalau umur kandungannya sudah 3 bulan, minimal 3 sampai 4 kali proses pijatan. Semuanya akan berjalan lancar," tuturnya. (fat/fat)

Sumber : http://surabaya.detik.com/read/2009/11/23/092231/1246688/475/marak-praktek-aborsi-di-desa-desa-madura