Senin, 16 Januari 2012

Wanita Perlu Pahami Kesehatan Reproduksi


Masalah kesehatan reproduksi perlu mendapat sosialiasi yang luas agar para calon ibu mengetahui persoalan reproduksi yang akan dialaminya berikut mendapatkan jalan keluar dari persoalan tersebut. "Tanpa mengenal organ kesehatan reproduksi dengan baik maka dikhawatirkan para calon ibu buta sama sekali dan akhirnya bisa berakibat pada keharmonisan hubungan suami isteri," kata Kepala BKKBN Provinsi Bengkulu, Hilaluddin Nasir di Bengkulu.

Dia mengatakan, kesehatan reproduksi merupakan suatu keadaan sejahtera fisik, mental dan sosial yang baik, bukan hanya bebas dari penyakit atau kecacatan, tetapi juga sehat dari aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi dan prosesnya.
Masalah kesehatan reproduksi, katanya, terkait dengan terganggunya sistem, fungsi dan proses alat reproduksi, yang dapat berakibat pada keharmonisan hubungan suami-isteri bahkan dapat mengganggu kelancaran proses kehamilan dan persalinan.

Untuk itu dia berharap, setiap pasangan suami-isteri disarankan untuk memeriksa dan merawat organ kesehatan reproduksi masing-masing agar tetap sehat dan berfungsi dengan baik dan normal. Usia ideal perkawinan untuk laki-laki minimal 25 tahun dan perempuan minimal 21 tahun. "Usia 25 tahun bagi laki-laki sudah dianggap matang dari segi emosi, ekonomi dan sosial," katanya.

Begitupun usia 21 tahun sudah dianggap matang bagi perempuan dari segi emosi, kepribadian dan sosialnya. Khusus untuk perempuan menurutnya, usia kurang dari 21 tahun, rahim dan pinggulnya belum berkembang dengan baik, sehingga kemungkinan terjadi kesulitan dalam persalinan.

Dikatakan, kehamilan yang sehat, suatu kondisi sehat fisik dan mental ibu dan janin yang dikandungnya. Kehamilan yang sehat dicirikan oleh cukup bulan (matur) sekitar 38 sampai 40 minggu (280 hari). "Berat badan ibu idealnya meningkat 0,5 kg perminggu atau 6,5 sampai 16 kgselama masa kehamilan dengan disertai peningkatan berat badan janin yang sesuai dengan umur kehamilan," katanya.

Mengenai tekanan darah tidak lebih dari 120/80 mm Hg. Untuk itu maka selama masa kehamilan perlu istirahat yang cukup, minum tablet tambah darah minimal 90 tablet selama kehamilan.

Menurutnya, perlu menghindari terlalu muda untuk hamil usia kurang dari 21 tahun. Terlalu tua untuk hamil usia lebih dari 35 tahun. Terlalu sering hamil beresiko tinggi dan terlalu rapat jarak kehamilan juga beresiko.

ANTISIPASI DINI BAHAYA HIV/AIDS BAGI SISWA


SISWA bagian dari remaja yang harus diselamatkan. Secara umum siswa  memiliki emosi yang bergelora, meledak-ledak dan mudah terkena godaan/rayuan oleh lingkungannya. Menyadari hal ini, pemahaman pengetahuan, keluasan pandangan tentang sesuatu harus mendalam sehingga benar-benar terhayati dalam hidupnya dan bila hal tersebut tidak baik siswa dapat menghindarinya.
Pengenalan aneka jenis penyakit, lebih-lebih yang bersinggungan dengan akibat kehidupan pergaulan bebas pantas diberikan kepada remaja dan lebih khusus lagi pada siswa-siswi di bangku sekolah. Salah satu penyakit berbahaya yang perlu disosialisasikan pada siswa yakni AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) atau sindrom kurangnya daya tahan tubuh terhadap penyakit.

AIDS disebabkan oleh virus yang dikenal dengan nama HIV (Human Immunodeficiency Virus). HIV menyerang dan melemahkan sistem pertahanan badan manusia. Virus ini membutuhkan waktu untuk menyebabkan sondrom AIDS yang mematikan dan sangat berbahaya. Penyakit ini ditandai melemah atau menghilangnya sistem kekebalan tubuh yang tadinya dimiliki, karena sel darah putih dirusak oleh virus HIV.Virus ini dapat ditularkan dari seseorang ke orang lain melalui berbagai cara di antaranya, pertama, melalui hubungan seks penetratif tanpa menggunakan kondom sehingga memungkinkan tercampurnya sperma dengan cairan vagina atau tercampurnya sperma dengan darah karena hubungan seks lewat anus. Ada pula perilaku beresiko pada kelompok laki-laki yang menyukai sesama jenis.

Kedua, pemakaian jarum suntik, semprot dan peralatan suntik lainnya tindik atau tatto. Penggunaan jarum suntik yang sudah tercemar HIV dan dipakai bergantian tanpa disterilkan terlebih dahulu. Hal ini biasanya terjadi di kalangan pengguna narkotika suntikan. Meskipun demikian, pemakaian jarum suntik di dalam penyuntikan obat, imunisasi, tatto, tindik yang telah terkena virus HIV juga dapat menjadi media penularan.

Ketiga, melalui air susu ibu (ASI).
Penularan ini dimungkinkan dari seorang ibu hamil yang terjangkit HIV positif dan melahirkan lewat vagina, kemudian menyusui bayinya dengan ASI. Kemungkinan penularan dari ibu ke bayi ini berkisar hingga 30 persen, artinya setiap dari 10 kehamilan dari ibu HIV positif kemungkinan ada tiga bayi yang lahir dengan HIV positif.

Keempat, transfusi darah atau produk darah. Melalui transfusi darah/produk darah yang sudah tercemar HIV kemudian ditransfusikan pada orang lain maka orang tersebut akan tertular virus HIV tersebut. Terkait dengan hal ini maka transfusi darah, khususnya pendonor darah harus benar-benar sehat dan terbebas dari virus yang mematikan ini.

AIDS tidak ditularkan melalui makan dan minum bersama atau pemakaian alat makan dan minum. Pemakaian fasilitas umum seperti WC umum, telepon umum atau kolam renang. Senggolan dengan penderita juga tidak akan menularkan virus yang sangat berbahaya ini. Terkait dengan virus yang konon belum ada obat pembasminya ini, maka generasi muda, apalagi itu para siswa dan siswi harus tahu tatacara pencegahannya.

Cara pencegahan antara lain, gunakan jarum suntik yang steril dan baru apabila melakukan pengobatan karena sakit. Bila telah nikah selalu menerapkan kewaspadaan mengenai seks aman dan tidak berganti-ganti pasangan. Bila ibu hamil dalam keadaan HIV positif sebaiknya diberitahu tentang semua resiko dan kemungkinan yang akan terjadi pada bayinya sehingga keputusan untuk menyusui bayi dengan ASI sendiri bisa dipertimbangkan.

Semua alat yang menembus kulit dan darah termasuk pisau cukur jangan bergantian antara satu orang dengan orang lain. Apalagi orang tersebut telah diketahui menderita AIDS. Secara umum tanda-tanda utama yang terlihat pada seseorang yang yang sudah sampai pada tahapan AIDS antara lain, berat badan menurun lebih dari 10 persen dalam waktu yang singkat, demam tinggi berkepanjangan (lebih dari satu bulan), dan diare berkepanjangan pula. Gejala-gejala tambahan antara lain, batuk berkepanjangan (lebih satu bulan), kelainan kulit dan iritasi serta gatal-gatal, infeksi jamur pada mulut dan kerongkongan, pembengkakan kelenjar getah bening di seluruh tubuh, seperti di bawah telinga, leher, ketiak dan lipatan paha. 
 
Menyimak akibat fatal bagi pengidap HIV/AIDS, maka seluruh komponen masyarakat lebih-lebih generasi muda dan pelajar harus hati-hati dalam bergaul dan berperilaku. Anak muda, khususnya siswa wajib mendapat pemahaman akan bahayanya virus HIV ini. Pengetahuan yang mendalam serta tekad kuat untuk menghindari cara-cara penularan di atas seorang siswa akan terbebas ancaman virus maut tersebut.

Siswa-siswi merupakan aset bangsa yang harus diselamatkan. Bila para siswa telah terkena polusi virus ini, harapan masa depannya benar-benar pudar. Tatapan hari esoknya akan suram dan penuh masalah. Dari dasar ini, maka peran guru dan lebih-lebih orangtua siswa tidak ringan. Anak butuh kasih sayang dan perhatian. Pemenuhan kebutuhan materi yang melimpah belum menjamin siswa atau remaja secara luas akan terbebas dengan ancaman virus berbahaya tersebut.

Penanaman iman agama dan contoh perbuatan mulia dari guru dan orangtua merupakan modal yang paling mendasar bagi anak-anak bangsa. Bila generasi mudanya cerdas-cerdas dan berperilaku mulia akan mencerminkan harapan cerah bagi bangsa ini di masa depannya. Berawal dari lingkungan sekolah, para siswa memang wajib tahu dan paham akan bahaya HIV/AIDS secara lengkap. Amin ! (rul)      

Rabu, 11 Januari 2012

SISTEM OPERASI KOMPUTER


Sistem operasi komputer adalah software berupa program komputer yang mengatur operasi dasar komputer. System operasi mengontrol berbagai proseskomputer, seperti menjalankan program spreaddheet, contohnya Microsoft excel atau mengakses informasi dari memory komputer. Selain itu, sistem operasi menerjemahkan perintah berupa teks atau grafik yang memungkinkan pengguna berkomunikasih dengan komputer.


Dalam mengatur operasi dasar komputer, sistem operasi menjalankan beberapa fungsi.

1. Manajemen processor
Memecahkan tugas yang harus dikerjakan kedalam perintah yang lebih kecil dengan prioritas tertentu sebelum mengirimkanya ke prosesor.

2. Memanajemen memori
Mengoordinasikan aliran data yang masuk dan keluar ram dan menentukan kebutuhan penyimpanan data melalui virtual memori

3. Manajemen device
Berfungsi sebagai penghubung antar piranti yang terkoneksi dengan komputer, termasuk mengatur dan memanipulasi perangkat keras (hardware) komputer, seperti hardisk, printer, disk, keyboard, mouse dan monitor.

4. Memanajemen storage
Mengelola file pada berbagai media penyimpanan seperti floppydisk, hard drive, compact disk, (cd), dan tape serta mengelola kemungkinan hilangnya data.

5. Application dan user interface
Sistem operasi dapat menyediakan komunikasi standart dan pertukaran data antar-software programkomputer. Selain itu, sistem operasi juga menyediakan antarmuka (interface) bagi penggunaan sehingga lebih mudah dan efektif dalam menggunakan komputer.

6. Firewall
Memelihara keamanan sistem, khusus pada jaringan yang membutuhkan kata sandi (password) dan penggunaan id. Fungsi ini sangat dibutuhkan terutama saat kita berkomunikasih dengan penggunaan lain melalui internet, yaitu melindungi data terhadap kemungkinan diakses oleh penggunaan lain.


Umumnya sistem operasi terdiri dari atas beberapa bagian, yaitu mekanisme boot (meletakkan karnel ke dalam memori)kernel (layanan sentral dari sebuah sistem operasi, command interpreter(bertugas membaca input data dari pengguna), library (menyediakan kumpulan fungsi dasar yang dapat dipanggil oleh aplikasi lain), serta drive (berinteraksi dan mengontrol kerja hardware eksternal seperti keyboard dan monitor).

Setelah komputer dinyalakan akan menjalankan program bootstrap loader yang mencari dan melakukan proses loading kernel sistem operasi ke memori. Kernel. Adalah layanan sentral pada sistem operasi yang sangat dibutuhkan oleh bagian lain sistem operasi dan aplikasi. Kernel bertanggung jawab dalam pengaturan memori, terjadwal tugas dan proses, serta mengatur akses dan sistem kerja disk. Kernel merupakan bagian dari sistem operasi yang pertama kali dijalankan dan ditempatkan pada memori utama ketika komputerdinyalakan.

Sistem informasi menyediakan software diatas software aplikasi sehingga komputer dapat digunakan. Jadi, software software aplikasi hanya dapat dijalankan setelah sistem operasi berjalan. Selain itu program aplikasi hanya dapat dijalankan pada sistem operasi tertentu. Artinya, program aplikasi yang dijalankan padakomputer yang menggunakan sistem operasi windows tidak dapat dijalankan pada komputer yang menggunakan sistem operasi linux. Atau sebaliknya. Akan tetapi pada umunya sekarang ini sistem operasimemungkinkan beberapa aplikasi berjalan secara simultan pada waktu yang bersamaan. Kemampun sistem operasi disebut juga multitasking. Misalnya saat kita menggunakan muzik dengan menggunakan winamp sambil mengetik dengan Microsoft word. Sistem operasi multitasking 32 bit pertama kali dikembangkan oleh Microsoft dan IMB untuk digunakan pada prosesor intel 80386, yaitu OS/2 dan windows. Sistem operasiutama yang digunakan pada personal komputer. (pc) terbagi menjadi 3 kelompok besar, yaitu kelompok windows, unix dan mac os. Contoh kelompok windows antara lain windows desktop environment (versi 1,x-3,x), windows 9x(windows 95, 98 dan windows me), serta windows nt(windows NT .x dan 4.0, windows 2000, windows XP, windows 2003, dan windows vista yang dirilis tahun 2007) dan ini contoh kelompok unix adalah SCO unix, BSD (berkelay software distribution), GNU/Linux, MAC OS/x(dikenal dengan Darwin), dan GNU/Hurd. Mac os merupakan sistem operasi untuk keluaran apple yang umunya disebut mac atau macintosh. Sistem operasi yang terbaru adalah MAC OS X versi 10,5(leopard).


Senin, 02 Januari 2012

Prilaku Hubungan Sosial dan Solidaritas Antar Teman pada Prilaku Gaya Hidup Remaja

Pada masa remaja, terdapat banyak hal baru yang terjadi, dan biasanya lebih bersifat menggairahkan, karena hal baru yang mereka alami merupakan tanda-tanda menuju kedewasaan. Dari masalah yang timbul akibat pergaulan, keingin tahuan tentang asmara dan seks, hingga masalah-masalah yang bergesekan dengan hukum dan tatanan sosial yang berlaku di sekitar remaja.

Hal-hal yang terakhir ini biasanya terjadi karena banyak faktor, tetapi berdasarkan penelitian, jumlah yang terbesar adalah karena "tingginya" rasa solidaritas antar teman, pengakuan kelompok, atau ajang penunjukkan identitas diri. Masalah akan timbul pada saat remaja salah memilih arah dalam berkelompok.

Banyak ahli psikologi yang menyatakan bahwa masa remaja merupakan masa yang penuh masalah, penuh gejolak, penuh risiko (secara psikologis), over energi, dan lain sebagainya, yang disebabkan oleh aktifnya hormon-hormon tertentu. Tetapi statement yang timbul akibat pernyataan yang stereotype dengan pernyataan diatas, membuat remaja pun merasa bahwa apa yang terjadi, apa yang mereka lakukan adalah suatu hal yang biasa dan wajar.

Minat untuk berkelompok menjadi bagian dari proses tumbuh kembang yang remaja alami. Yang dimaksud di sini bukan sekadar kelompok biasa, melainkan sebuah kelompok yang memiliki kekhasan orientasi, nilai-nilai, norma, dan kesepakatan yang secara khusus hanya berlaku dalam kelompok tersebut. Atau yang biasa disebut geng. Biasanya kelompok semacam ini memiliki usia sebaya atau bisa juga disebut peer group.

Demi kawan yang menjadi anggota kelompok ini, remaja bisa melakukan dan mengorbankan apa pun, dengan satu tujuan, Solidaritas. Geng, menjadi suatu wadah yang luar biasa apabila bisa mengarah terhadap hal yang positif. Tetapi terkadang solidaritas menjadi hal yang bersifat semu, buta dan destruktif, yang pada akhirnya merusak arti dari solidaritas itu sendiri.

Demi alasan solidaritas, sebuah geng sering kali memberikan tantangan atau tekanan-tekanan kepada anggota kelompoknya (peer pressure) yang terkadang berlawanan dengan hukum atau tatanan sosial yang ada. Tekanan itu bisa saja berupa paksaan untuk menggunakan narkoba, mencium pacar, melakukan hubungan seks, melakukan penodongan, bolos sekolah, tawuran, merokok, corat-coret tembok, dan masih banyak lagi.

Secara individual, remaja sering merasa tidak nyaman dalam melakukan apa yang dituntutkan pada dirinya. Namun, karena besarnya tekanan atau besarnya keinginan untuk diakui, ketidak berdayaan untuk meninggalkan kelompok, dan ketidak mampuan untuk mengatakan "tidak", membuat segala tuntutan yang diberikan kelompok secara terpaksa dilakukan. Lama kelamaan prilaku ini menjadi kebiasaan, dan melekat sebagai suatu karakter yang diwujudkan dalam berbagai prilaku negatif.

Kelompok atau teman sebaya memiliki kekuatan yang luar biasa untuk menentukan arah hidup remaja. Jika remaja berada dalam lingkungan pergaulan yang penuh dengan"energi negatif" seperti yang terurai di atas, segala bentuk sikap, perilaku, dan tujuan hidup remaja menjadi negatif. Sebaliknya, jika remaja berada dalam lingkungan pergaulan yang selalu menyebarkan "energi positif", yaitu sebuah kelompok yang selalu memberikan motivasi, dukungan, dan peluang untuk mengaktualisasikan diri secara positif kepada semua anggotanya, remaja juga akan memiliki sikap yang positif. Prinsipnya, perilaku kelompok itu bersifat menular.

Motivasi dalam kelompok (peer motivation) adalah salah satu contoh energi yang memiliki kekuatan luar biasa, yang cenderung melatarbelakangi apa pun yang remaja lakukan. Dalam konteks motivasi yang positif, seandainya ini menjadi sebuah budaya dalam geng, barangkali tidak akan ada lagi kata-kata "kenakalan remaja" yang dialamatkan kepada remaja. Lembaga pemasyarakatan juga tidak akan lagi dipenuhi oleh penghuni berusia produktif, dan di negeri tercinta ini akan semakin banyak orang sukses berusia muda. Remaja juga tidak perlu lagi merasakan peer pressure, yang bisa membuat mereka stres.

Secara teori diatas, remaja akan menjadi pribadi yang diinginkan masyarakat. Tetapi tentu saja hal ini tidak dapat hanya dibebankan pada kelompok ataupun geng yang dimiliki remaja. Karena remaja merupakan individu yang bebas dan masing-masing tentu memiliki keunikan karakter bawaan dari keluarga. Banyak faktor yang juga dapat memicu hal buruk terjadi pada remaja.

Seperti yang telah diuraikan diatas, kelompok remaja merupakan sekelompok remaja dengan nilai, keinginan dan nasib yang sama. Contoh, banyak sorotan yang dilakukan publik terhadap kelompok remaja yang merupakan kumpulan anak dari keluarga broken home. Kekerasan yang telah mereka alami sejak masa kecil, trauma mendalam dari perpecahan keluarga, akan kembali menjadi pencetus kenakalan dan kebrutalan remaja.

Tetapi, masa remaja memang merupakan masa dimana seseorang belajar bersosialisasi dengan sebayanya secara lebih mendalam dan dengan itu pula mereka mendapatkan jati diri dari apa yang mereka inginkan.

Hingga, terlepas dari itu semua, remaja merupakan masa yang indah dalam hidup manusia, dan dalam masa yang akan datang, akan menjadikan masa remaja merupakan tempat untuk memacu landasan dalam menggapai kedewasaan.


Pengaruh Globalisasi Terhadap Kebudayaan



Globalisasi dan Budaya
            Gaung globalisasi, yang sudah mulai terasa sejak akhir abad ke-20, telah membuat masyarakat dunia, termasuk bangsa Indonesia harus bersiap-siap menerima kenyataan masuknya pengaruh luar terhadap seluruh aspek kehidupan bangsa. Salah satu aspek yang terpengaruh adalah kebudayaan. Terkait dengan kebudayaan, kebudayaan dapat diartikan sebagai nilai-nilai (values) yang dianut oleh masyarakat ataupun persepsi yang dimiliki oleh warga masyarakat terhadap berbagai hal. Atau kebudayaan juga dapat didefinisikan sebagai wujudnya, yang mencakup gagasan atau ide, kelakuan dan hasil kelakuan (Koentjaraningrat), dimana hal-hal tersebut terwujud dalam kesenian tradisional kita. Oleh karena itu nilai-nilai maupun persepsi berkaitan dengan aspek-aspek kejiwaan atau psikologis, yaitu apa yang terdapat dalam alam pikiran.
            Aspek-aspek kejiwaan ini menjadi penting artinya apabila disadari, bahwa tingkah laku seseorang sangat dipengaruhi oleh apa yang ada dalam alam pikiran orang yang bersangkutan. Sebagai salah satu hasil pemikiran dan penemuan seseorang adalah kesenian, yang merupakan subsistem dari kebudayaan Bagi bangsa Indonesia aspek kebudayaan merupakan salah satu kekuatan bangsa yang memiliki kekayaan nilai yang beragam, termasuk keseniannya. Kesenian rakyat, salah satu bagian dari kebudayaan bangsa Indonesia tidak luput dari pengaruh globalisasi.       Globalisasi dalam kebudayaan dapat berkembang dengan cepat, hal ini tentunya dipengaruhi oleh adanya kecepatan dan kemudahan dalam memperoleh akses komunikasi dan berita namun hal ini justru menjadi bumerang tersendiri dan menjadi suatu masalah yang paling krusial atau penting dalam globalisasi, yaitu kenyataan bahwa perkembangan ilmu pengertahuan dikuasai oleh negara-negara maju, bukan negara-negara berkembang seperti Indonesia. Mereka yang memiliki dan mampu menggerakkan komunikasi internasional justru negara-negara maju. Akibatnya, negara-negara berkembang, seperti Indonesia selalu khawatir akan tertinggal dalam arus globalisai dalam berbagai bidang seperti politik, ekonomi, sosial, budaya, termasuk kesenian kita. Wacana globalisasi sebagai sebuah proses ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga ia mampu mengubah dunia secara mendasar.
            Komunikasi dan transportasi internasional telah menghilangkan batas-batas budaya setiap bangsa. Kebudayaan setiap bangsa cenderung mengarah kepada globalisasi dan menjadi peradaban dunia sehingga melibatkan manusia secara menyeluruh. Simon Kemoni, sosiolog asal Kenya mengatakan bahwa globalisasi dalam bentuk yang alami akan meninggikan berbagai budaya dan nilai-nilai budaya.
            Dalam proses alami ini, setiap bangsa akan berusaha menyesuaikan budaya mereka dengan perkembangan baru sehingga mereka dapat melanjutkan kehidupan dan menghindari kehancuran. Tetapi, menurut Simon Kimoni, dalam proses ini, negara-negara harus memperkokoh dimensi budaya mereka dan memelihara struktur nilai-nilainya agar tidak dieliminasi oleh budaya asing. Dalam rangka ini, berbagai bangsa haruslah mendapatkan informasi ilmiah yang bermanfaat dan menambah pengalaman mereka. Terkait dengan seni dan budaya, Seorang penulis asal Kenya bernama Ngugi Wa Thiong’o menyebutkan bahwa perilaku dunia Barat, khususnya Amerika seolah-olah sedang melemparkan bom budaya terhadap rakyat dunia. Mereka berusaha untuk menghancurkan tradisi dan bahasa pribumi sehingga bangsa-bangsa tersebut kebingungan dalam upaya mencari indentitas budaya nasionalnya. Penulis Kenya ini meyakini bahwa budaya asing yang berkuasa di berbagai bangsa, yang dahulu dipaksakan melalui imperialisme, kini dilakukan dalam bentuk yang lebih luas dengan nama globalisasi.

Globalisasi Dalam Kebudayaan Tradisional Di Indonesia
            Proses saling mempengaruhi adalah gejala yang wajar dalam interaksi antar masyarakat.  Melalui interaksi dengan berbagai masyarakat lain, bangsa Indonesia ataupun kelompok-kelompok masyarakat yang mendiami nusantara (sebelum Indonesia terbentuk) telah mengalami proses dipengaruhi dan mempengaruhi. Kemampuan berubah merupakan sifat yang penting dalam kebudayaan manusia. Tanpa itu kebudayaan tidak mampu menyesuaikan diri dengan keadaan yang senantiasa berubah. Perubahan yang terjadi saat ini berlangsung begitu cepat. Hanya dalam jangka waktu satu generasi banyak negara-negara berkembang telah berusaha melaksanakan perubahan kebudayaan, padahal di negara-negara maju perubahan demikian berlangsung selama beberapa generasi. Pada hakekatnya bangsa Indonesia, juga bangsa-bangsa lain, berkembang karena adanya pengaruh-pengaruh luar.
            Kemajuan bisa dihasilkan oleh interaksi dengan pihak luar, hal inilah yang terjadi dalam proses globalisasi. Oleh karena itu, globalisasi bukan hanya soal ekonomi namun juga terkait dengan  masalah atau isu makna budaya dimana nilai dan makna yang terlekat di dalamnya masih tetap berarti. Terkait dengan kebudayaan, kebudayaan  dapat diartikan sebagai nilai-nilai (values) yang dianut oleh masyarakat ataupun persepsi yang dimiliki oleh warga masyarakat  terhadap berbagai hal. Atau kebudayaan juga dapat didefinisikan sebagai wujudnya, yang mencakup gagasan atau ide, kelakuan dan hasil kelakuan (Koentjaraningrat), dimana hal-hal tersebut terwujud dalam kesenian tradisional kita. Oleh karena itu nilai-nilai maupun persepsi berkaitan dengan aspek-aspek kejiwaan atau psikologis, yaitu apa yang terdapat dalam alam pikiran. Aspek-aspek kejiwaan ini menjadi penting artinya apabila disadari, bahwa tingkah laku seseorang sangat dipengaruhi oleh apa yang ada dalam alam pikiran orang yang bersangkutan.  Sebagai salah satu hasil pemikiran dan penemuan seseorang adalah kesenian, yang merupakan subsistem dari kebudayaan.
            Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk dalam berbagai hal, seperti anekaragaman budaya, lingkungan alam, dan wilayah geografisnya.  Keanekaragaman masyarakat Indonesia ini dapat dicerminkan pula dalam berbagai ekspresi keseniannya.  Dengan perkataan lain, dapat dikatakan pula bahwa berbagai kelompok masyarakat di Indonesia dapat mengembangkan keseniannya yang sangat khas.  Kesenian yang dikembangkannya itu menjadi model-model pengetahuan dalam masyarakat. 

Persebaran Budaya Dunia
            Globalisasi sebagai sebuah gejala tersebarnya nilai-nilai dan budaya tertentu keseluruh dunia (sehingga menjadi budaya dunia atau world culture) telah terlihat semenjak lama.  Cikal bakal dari persebaran budaya dunia ini dapat ditelusuri dari perjalanan para penjelajah Eropa Barat ke berbagai tempat di dunia ini ( Lucian W.  Pye, 1966 ).
            Globalisasi secara intensif terjadi pada awal ke-20 dengan berkembangnya teknologi komunikasi.  Kontak budaya tidak perlu melalui kontak fisik karena kontak melalui media telah memungkinkan.  Karena kontak ini tidak bersifat fisik dan individual, maka ia bersifat massal yang melibatkan sejumlah besar orang (Josep Klapper, 1990). Dalam prosesnya banyak warga masyarakat yang terlibat dalam proses komunikasi global tersebut, dan dalam waktu yang bersamaan hal ini berarti banyak  pula masyarakat (yang terlibat dalan proses komunikasi global) menjadi exposed terhadap informasi, dan terkena dampak komunikasi tersebut.  Karena itu, tidak mengherankan bila globalisasi berjalan dengan cepat dan massal, sejalan dengan berkembangnya teknologi komunikasi modern, mulai bermunculan portable radio, televisi, televisi satelit, dan kemudian internet. Keunggulan media massa, baik cetak maupun elektronik, adalah bahwa media tersebut mampu menyuguhkan gambar-gambar secara jelas dan terinci kepada para pemakainya.
            Akibatnya, para pemakai media massa tersebut mengetahui apa yang terjadi di tempat lain dengan budaya yang berbeda dalam waktu yang singkat.  Mereka dapat melihat dan mengetahui keunggulan-keunggulan budaya yang dimiliki masyarakat lain melalui media massa tersebut.  Sikap yang dapat muncul dari sini adalah sikap yang memandang secara kritis apa yang mereka miliki dan bagaimana mengimbanginya dengan nilai-nilai budaya yang sudah mereka miliki itu, termasuk sikap kritis dari bangsa Indonesia sendiri terhadap apa yang sudah mereka miliki. Terkait dengan globalisasi, mitos yang hidup selama ini tentang globalisasi adalah bahwa proses globalisasi akan membuat dunia seragam.  Proses globalisasi akan  menghapus identitas dan jati diri.  Kebudayaan lokal atau etnis akan ditelan oleh kekuatan budaya besar atau kekuatan budaya global.Anggapan atau jalan pikiran di atas tersebut tidak sepenuhnya benar.  Kemajuan teknologi komunikasi memang telah membuat batas-batas dan jarak menjadi hilang dan tak berguna.
            John Naisbitt (1988) dalam bukunya yang berjudul Global Paradox memperlihatkan hal yang bersifat paradoks dari fenomena globalisasi.  Naisbitt (1988) mengemukakan pokok-pokok pikiran  , yaitu semakin kita menjadi universal, maka tindakan kita semakin menjadi kesukuan atau lebih berorientasi ‘kesukuan’ dan berpikir secara lokal, namun bertindak global.  Yang dimaksudkan Naisbitt disini adalah bahwa kita harus berkonsentrasi kepada hal-hal yang bersifat etnis, yang hanya dimiliki oleh kelompok atau masyarakat itu sendiri sebagai modal pengembangan ke dunia Internasional.  Dengan demikian, berpikir lokal, bertindak global, seperti yang dikemukakan Naisbitt di atas, dapat diletakkan dan diposisikan pada masalah-masalah kesenian di Indonesia sebagai kekuatan yang penting dalam  era globalisasi ini.   

Kesenian Yang Bertahan Dan Yang Tersisihkan
            Perubahan budaya yang terjadi di dalam masyarakat tradisional, yakni perubahan dari masyarakat tertutup menjadi masyarakat yang lebih terbuka, dari nilai-nilai yang bersifat homogen menuju pluralisme nilai dan norma social merupakan salh satu dampak dari adanya globalisasi. Ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengubah dunia secara mendasar. Komunikasi dan sarana transportasi internasional telah menghilangkan batas-batas budaya setiap bangsa.
            Kebudayaan setiap bangsa cenderung mengarah kepada globalisasi dan menjadi peradaban dunia sehingga melibatkan manusia secara menyeluruh. Misalnya saja  khusus dalam bidang hiburan massa atau hiburan yang bersifat masal, makna globalisasi itu sudah sedemikian terasa. Sekarang ini setiap hari kita bisa menyimak tayangan film di tv yang bermuara dari negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, Korea, dll melalui stasiun televisi di tanah air. Belum lagi siaran tv internasional yang bisa ditangkap melalui parabola yang kini makin banyak dimiliki masyarakat Indonesia. Sementara itu, kesenian-kesenian populer lain yang tersaji melalui kaset, vcd, dan dvd yang berasal dari manca negara pun makin marak kehadirannya di tengah-tengah kita. Fakta yang demikian memberikan bukti tentang betapa negara-negara penguasa teknologi mutakhir telah berhasil memegang kendali dalam globalisasi budaya khususnya di negara ke tiga.

            Peristiwa transkultural seperti itu mau tidak mau akan berpengaruh terhadap keberadaan kesenian kita. Padahal kesenian tradisional kita merupakan bagian dari khasanah kebudayaan nasional yang perlu dijaga kelestariannya. Di saat yang lain dengan teknologi informasi yang semakin canggih seperti saat ini, kita disuguhi oleh banyak alternatif tawaran hiburan dan informasi yang lebih beragam, yang mungkin lebih menarik jika dibandingkan dengan kesenian tradisional kita. Dengan parabola masyarakat bisa menyaksikan berbagai tayangan hiburan yang bersifat mendunia yang berasal dari berbagai belahan bumi.
            Kondisi yang demikian mau tidak mau membuat semakin tersisihnya kesenian tradisional Indonesia dari kehidupan masyarakat Indonesia yang sarat akan pemaknaan dalam masyarakat Indonesia. Misalnya saja bentuk-bentuk ekspresi kesenian etnis Indonesia, baik yang rakyat maupun istana, selalu berkaitan erat dengan perilaku ritual masyarakat pertanian. Dengan datangnya perubahan sosial yang hadir sebagai akibat proses industrialisasi dan sistem ekonomi pasar, dan globalisasi informasi, maka kesenian kita pun mulai bergeser ke arah kesenian yang berdimensi komersial. Kesenian-kesenian yang bersifat ritual mulai tersingkir dan kehilangan fungsinya. Sekalipun demikian, bukan berarti semua kesenian tradisional kita lenyap begitu saja. Ada berbagai kesenian yang masih menunjukkan eksistensinya, bahkan secara kreatif terus berkembang tanpa harus tertindas proses modernisasi.
            Pesatnya laju teknologi informasi atau teknologi komunikasi telah menjadi sarana difusi budaya yang ampuh, sekaligus juga alternatif pilihan hiburan yang lebih beragam bagi masyarakat luas. Akibatnya masyarakat tidak tertarik lagi menikmati berbagai seni pertunjukan tradisional yang sebelumnya akrab dengan kehidupan mereka. Misalnya saja kesenian tradisional wayang orang Bharata, yang terdapat di Gedung Wayang Orang Bharata Jakarta kini tampak sepi seolah-olah tak ada pengunjungnya. Hal ini sangat disayangkan mengingat wayang merupakan salah satu bentuk kesenian tradisional Indonesia yang sarat dan kaya akan pesan-pesan moral, dan merupakan salah satu agen penanaman nilai-nilai moral yang baik, menurut saya.  Contoh lainnya adalah kesenian Ludruk yang sampai pada tahun 1980-an masih berjaya di Jawa Timur sekarang ini tengah mengalami “mati suri”. Wayang orang dan ludruk merupakan contoh kecil dari mulai terdepaknya kesenian tradisional akibat globalisasi. Bisa jadi fenomena demikian tidak hanya dialami oleh kesenian Jawa tradisional, melainkan juga dalam berbagai ekspresi kesenian tradisional di berbagai tempat di Indonesia. Sekalipun demikian bukan berarti semua kesenian tradisional mati begitu saja dengan merebaknya globalisasi.
            Di sisi lain, ada beberapa seni pertunjukan yang tetap eksis tetapi telah mengalami perubahan fungsi. Ada pula kesenian yang mampu beradaptasi dan mentransformasikan diri dengan teknologi komunikasi yang telah menyatu dengan kehidupan masyarakat, misalnya saja kesenian tradisional “Ketoprak” yang dipopulerkan ke layar kaca oleh kelompok Srimulat.  Kenyataan di atas menunjukkan kesenian ketoprak sesungguhnya memiliki penggemar tersendiri, terutama ketoprak yang disajikan dalam bentuk siaran televisi, bukan ketoprak panggung. Dari segi bentuk pementasan atau penyajian, ketoprak termasuk kesenian tradisional yang telah terbukti mampu beradaptasi dengan perubahan zaman.
            Selain ketoprak masih ada kesenian lain yang tetap bertahan dan mampu beradaptasi dengan teknologi mutakhir  yaitu wayang kulit. Beberapa dalang wayang kulit terkenal seperti Ki Manteb Sudarsono dan Ki Anom Suroto tetap diminati masyarakat, baik itu kaset rekaman pementasannya, maupun pertunjukan secara langsung. Keberanian stasiun televisi Indosiar yang sejak beberapa tahun lalu menayangkan wayang kulit setiap malam minggu cukup sebagai bukti akan besarnya minat masyarakat terhadap salah satu khasanah kebudayaan nasional kita. Bahkan Museum Nasional pun tetap mempertahankan eksistensi dari kesenian tradisonal seperti wayang kulit dengan mengadakan pagelaran wayang kulit tiap beberapa bulan sekali dan pagelaran musik gamelan tiap satu minggu atau satu bulan sekali yang diadakan di aula Kertarajasa, Museum Nasional

Kesenian Rakyat Dalam Orientasi Globalisasi
            Pada era globalisasi saat ini, eksistensi atau keberadaan kesenian rakyat berada pada titik yang rendah dan mengalami berbagai tantangan dan tekanan-tekanan baik dari pengaruh luar maupun dari dalam.  Tekanan dari pengaruh luar terhadap kesenian rakyat ini dapat dilihat dari pengaruh berbagai karya-karya kesenian populer dan juga karya-karya kesenian yang lebih modern lagi yang dikenal dengan budaya pop[4].  Kesenian-kesenian populer tersebut lebih mempunyai keleluasan dan kemudahan-kemudahan dalam berbagai komunikasi baik secara alamiah maupun teknologi., sehingga hal ini memberikan pengaruh terhadap masyarakat.  Selain itu, aparat pemerintah nampaknya lebih mengutamakan atau memprioritaskan segi keuntungan ekonomi (bisnis) ketimbang segi budayanya, sehingga kesenian rakyat semakin tertekan lagi. 
            Segi komersialisasi yang dilakukan oleh aparat pemerintah ini tentu saja didasarkan atas pemikiran yang pragmatis  dan cenderung mengikuti perkembangan-perkembangan dan perubahan-perubahan yang ada.  Dengan demikian, pengaruh ini jelas-jelas mempunyai dampak yang besar terhadap perkembangan dan kreativitas kesenian rakyat itu sendiri.Di pihak lain, adanya masyarakat yang masih setia kepada tradisinya perlahan-lahan mengikuti perkembangan pembangunan.
            Kebanyakan hal tersebut (kesenian tradisional) ini tidak dapat bangun lagi karena kerasnya daya saing dengan kesenian-kesenian yang sangat modern.  Sementara itu pemerintah hampir tidak peduli lagi dengan keadaan kesenian tradisional di daerah.  Hal ini, bisa saja  disebabkan  oleh adanya asumsi-asumsi yang dikaitkan dengan  konsep-konsep dasar pembangunan di bidang kesenian yang penekanannya dan intinya melestarikan dan mengembangkan kesenian yang bertaraf dengan kecenderungan universal.  Sehingga, kesenian-kesenian yang ada sekarang ini dapat dianggap tidak sesuai dengan objek-objek dan  tujuan dari pembangunan yang sedang dijalankannya ini.  Dengan kata lain, bahwa keaslian dari suatu kesenian dipandang belum dapat dibanggakan sebagai bukti keberhasilan suatu pembangunan di daerahnya.
            Sesungguhnya, bagi kesenian rakyat Indonesia, kesempatan untuk mengadaptasi pemikiran Naisbitt sangat cukup terbuka, karena kekayaan  kesenian yang dimiliki bangsa Indonesia sangat memadai untuk dikembangkan ke dunia Internasional.  Sebagai salah satu contoh, misalnya tari Piring dari Sumatra Barat.  Tari Piring ini sesungguhnya sangat potensial untuk dikembangkan menjadi lebih modern lagi melalui kolaborasi.  Untuk menuju kepada tindakan ini harus ada upaya atau perbaikan–perbaikan yang perlu diperhatikan agar kemasan kesenian tradisional bangsa Indonesia dapat diterima dan berkembang secara global, walaupun tetap mengacu pada kekuatan nilai-nilai asli/lokal. 

Peran Pemerintah Dalam Kesenian Rakyat
            Peran kebijaksanaan pemerintah yang lebih mengarah kepada pertimbangan-pertimbangan ekonomi daripada cultural atau budaya, menurut pendapat saya dapat dikatakan merugikan suatu perkembangan kebudayaan.  Jennifer Lindsay (1995)[6], dalam bukunya yang berjudul ‘Cultural Policy And The Performing Arts In South-East Asia’, mengungkapkan kebijakan kultural di Asia Tenggara saat ini secara efektif mengubah dan merusak seni-seni pertunjukan tradisional, baik melalui campur tangan, penanganan yang berlebihan, kebijakan-kebijakan tanpa arah, dan tidak ada perhatian yang diberikan pemerintah kepada kebijakan kultural atau konteks kultural.
            Dalam pengamatan yang lebih sempit dapat kita melihat tingkah laku aparat pemerintah dalam menangani perkembangan kesenian rakyat, di mana banyaknya campur tangan dalam menentukan objek dan berusaha merubah agar sesuai dengan tuntutan pembangunan.  Dalam kondisi seperti ini arti dari kesenian rakyat itu sendiri menjadi hambar dan tidak ada rasa seninya lagi.  Melihat kecenderungan tersebut, maka saya pribadi melihat aparat pemerintah telah menjadikan para seniman dipandang sebagai objek pembangunan dan diminta untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan simbol-simbol pembangunan.  Hal ini tentu saja mengabaikan masalah pemeliharaan dan pengembangan kesenian secara murni, dalam arti benar-benar didukung oleh nilai seni yang mendalam dan bukan sekedar hanya dijadikan model saja dalam pembangunan.
            Dengan demikian, kesenian rakyat semakin lama tidak dapat mempunyai ruang yang cukup memadai untuk perkembangan secara alami atau natural, karena itu, secara tidak langsung kesenian rakyat akhirnya menjadi sangat tergantung oleh model-model pembangunan yang cenderung lebih modern dan rasional.
            Sebagai contoh dari permasalahan ini dapat kita lihat, misalnya kesenian asli daerah Betawi yaitu, tari cokek, tari lenong, dan sebagainya sudah diatur dan disesuaikan oleh aparat pemerintah untuk memenuhi tuntutan dan tujuan kebijakan-kebijakan politik pemerintah.  Aparat pemerintah di sini turut mengatur secara normatif, sehingga kesenian Betawi tersebut tidak lagi terlihat keasliannya dan cenderung dapat membosankan.  Untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak dikehendaki terhadap keaslian dan perkembangan yang murni bagi kesenian rakyat tersebut, maka pemerintah perlu mengembalikan fungsi pemerintah sebagai pelindung dan pengayom kesenian-kesenian tradisional tanpa harus turut campur dalam proses estetikanya.
            Memang diakui bahwa kesenian rakyat saat ini membutuhkan dana dan bantuan pemerintah sehingga sulit untuk menghindari keterlibatan pemerintah dan bagi para seniman rakyat ini merupakan sesuatu yang sulit pula membuat keputusan sendiri untuk sesuai dengan keaslian (oroginalitas) yang diinginkan para seniman rakyat tersebut. Oleh karena itu pemerintah harus ‘melakoni’ dengan benar-benar peranannya sebagai pengayom yang melindungi keaslian dan perkembangan secara estetis kesenian rakyat tersebut tanpa harus merubah dan menyesuaikan dengan kebijakan-kebijakan politik.
            Globalisasi informasi dan budaya yang terjadi menjelang millenium baru seperti saat ini adalah sesuatu yang tak dapat dielakkan. Kita harus beradaptasi dengannya karena banyak manfaat yang bisa diperoleh. Harus diakui bahwa teknologi komunikasi sebagai salah produk dari modernisasi bermanfaat besar bagi terciptanya dialog dan demokratisasi budaya secara masal dan merata.
            Globalisasi mempunyai dampak yang besar terhadap budaya.  Kontak budaya melalui media massa menyadarkan dan memberikan informasi tentang keberadaan nilai-nilai budaya lain yang berbeda dari yang dimiliki dan dikenal selama ini.  Kontak budaya ini memberikan masukan yang penting bagi perubahan-perubahan dan pengembangan-pengembangan nilai-nilai dan persepsi dikalangan masyarakat yang terlibat dalam proses ini.  Kesenian bangsa Indonesia yang memiliki kekuatan etnis dari berbagai macam daerah juga tidak dapat lepas dari pengaruh kontak budaya ini.  Sehingga untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap perubahan-perubahan diperlukan pengembangan-pengembangan yang bersifat global namun tetap bercirikan kekuatan lokal atau etnis.
            Globalisasi budaya yang begitu pesat harus diantisipasi dengan memperkuat identitas kebudayaan nasional. Berbagai kesenian tradisional yang sesungguhnya menjadi aset kekayaan kebudayaan nasional jangan sampai hanya menjadi alat atau slogan para pemegang kebijaksanaan, khususnya pemerintah, dalam rangka keperluan turisme, politik dsb. Selama ini pembinaan dan pengembangan kesenian tradisional yang dilakukan lembaga pemerintah masih sebatas pada unsur formalitas belaka, tanpa menyentuh esensi kehidupan kesenian yang bersangkutan. Akibatnya, kesenian tradisional tersebut bukannya berkembang dan lestari, namun justru semakin dijauhi masyarakat.
            Dengan demikian, tantangan yang dihadapi oleh kesenian rakyat cukup berat. Karena pada era teknologi dan komunikasi yang sangat canggih dan modern ini masyarakat dihadapkan kepada banyaknya alternatif sebagai pilihan, baik dalam menentukan kualitas maupun selera.  Hal ini sangat memungkinkan keberadaan dan eksistensi kesenian rakyat dapat dipandang dengan sebelah mata oleh masyarakat, jika dibandingkan dengan kesenian modern yang merupakan imbas dari budaya pop.

Pengaruh Globalisasi Terhadap Budaya Bangsa
            Arus globalisasi saat ini telah menimbulkan pengaruh terhadap perkembangan budaya bangsa Indonesia . Derasnya arus informasi dan telekomunikasi ternyata menimbulkan sebuah kecenderungan yang mengarah terhadap memudarnya nilai-nilai pelestarian budaya. Perkembangan 3T (Transportasi, Telekomunikasi, dan Teknologi) mengkibatkan berkurangnya keinginan untuk melestarikan budaya negeri sendiri .
            Budaya Indonesia yang dulunya ramah-tamah, gotong royong dan sopan berganti dengan budaya barat, misalnya pergaulan bebas. Di Tapanuli (Sumatera Utara) misalnya, duapuluh tahun yang lalu, anak-anak remajanya masih banyak yang berminat untuk belajar tari tor-tor dan tagading (alat musik batak). Hampir setiap minggu dan dalam acara ritual kehidupan, remaja di sana selalu diundang pentas sebagai hiburan budaya yang meriah. Saat ini, ketika teknologi semakin maju, ironisnya kebudayaan-kebudayaan daerah tersebut semakin lenyap di masyarakat, bahkan hanya dapat disaksikan di televisi dan Taman Mini Indonesi Indah (TMII).
            Padahal kebudayaan-kebudayaan daerah tersebut, bila dikelola dengan baik selain dapat menjadi pariwisata budaya yang menghasilkan pendapatan untuk pemerintah baik pusat maupun daerah, juga dapat menjadi lahan pekerjaan yang menjanjikan bagi masyarakat sekitarnya
            Peran kebijaksanaan pemerintah yang lebih mengarah kepada pertimbangan-pertimbangan ekonomi daripada cultural atau budaya dapat dikatakan merugikan suatu perkembangan kebudayaan. Jennifer Lindsay (1995) dalam bukunya yang berjudul ‘Cultural Policy And The Performing Arts In South-East Asia’, mengungkapkan kebijakan kultural di Asia Tenggara saat ini secara efektif mengubah dan merusak seni-seni pertunjukan tradisional, baik melalui campur tangan, penanganan yang berlebihan, kebijakan-kebijakan tanpa arah, dan tidak ada perhatian yang diberikan pemerintah kepada kebijakan kultural atau konteks kultural. Dalam pengamatan yang lebih sempit dapat kita melihat tingkah laku aparat pemerintah dalam menangani perkembangan kesenian rakyat, di mana banyaknya campur tangan dalam menentukan objek dan berusaha merubah agar sesuai dengan tuntutan pembangunan.
            Dalam kondisi seperti ini arti dari kesenian rakyat itu sendiri menjadi hambar dan tidak ada rasa seninya lagi. Melihat kecenderungan tersebut, aparat pemerintah telah menjadikan para seniman dipandang sebagai objek pembangunan dan diminta untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan simbol-simbol pembangunan. Hal ini tentu saja mengabaikan masalah pemeliharaan dan pengembangan kesenian secara murni, dalam arti benar-benar didukung oleh nilai seni yang mendalam dan bukan sekedar hanya dijadikan model saja dalam pembangunan.
            Dengan demikian, kesenian rakyat semakin lama tidak dapat mempunyai ruang yang cukup memadai untuk perkembangan secara alami atau natural, karena itu, secara tidak langsung kesenian rakyat akhirnya menjadi sangat tergantung oleh model-model pembangunan yang cenderung lebih modern dan rasional. Sebagai contoh dari permasalahan ini dapat kita lihat, misalnya kesenian asli daerah Betawi yaitu, tari cokek, tari lenong, dan sebagainya sudah diatur dan disesuaikan oleh aparat pemerintah untuk memenuhi tuntutan dan tujuan kebijakan-kebijakan politik pemerintah. Aparat pemerintah di sini turut mengatur secara normatif, sehingga kesenian Betawi tersebut tidak lagi terlihat keasliannya dan cenderung dapat membosankan. Untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak dikehendaki terhadap keaslian dan perkembangan yang murni bagi kesenian rakyat tersebut, maka pemerintah perlu mengembalikan fungsi pemerintah sebagai pelindung dan pengayom kesenian-kesenian tradisional tanpa harus turut campur dalam proses estetikanya. Memang diakui bahwa kesenian rakyat saat ini membutuhkan dana dan bantuan pemerintah sehingga sulit untuk menghindari keterlibatan pemerintah dan bagi para seniman rakyat ini merupakan sesuatu yang sulit pula membuat keputusan sendiri untuk sesuai dengan keaslian (oroginalitas) yang diinginkan para seniman rakyat tersebut. Oleh karena itu pemerintah harus ‘melakoni’ dengan benar-benar peranannya sebagai pengayom yang melindungi keaslian dan perkembangan secara estetis kesenian rakyat tersebut tanpa harus merubah dan menyesuaikan dengan kebijakan-kebijakan politik. Globalisasi informasi dan budaya yang terjadi menjelang millenium baru seperti saat ini adalah sesuatu yang tak dapat dielakkan. Kita harus beradaptasi dengannya karena banyak manfaat yang bisa diperoleh. Harus diakui bahwa teknologi komunikasi sebagai salah produk dari modernisasi bermanfaat besar bagi terciptanya dialog dan demokratisasi budaya secara masal dan merata.
            Globalisasi mempunyai dampak yang besar terhadap budaya. Kontak budaya melalui media massa menyadarkan dan memberikan informasi tentang keberadaan nilai-nilai budaya lain yang berbeda dari yang dimiliki dan dikenal selama ini. Kontak budaya ini memberikan masukan yang penting bagi perubahan-perubahan dan pengembangan-pengembangan nilai-nilai dan persepsi dikalangan masyarakat yang terlibat dalam proses ini. Kesenian bangsa Indonesia yang memiliki kekuatan etnis dari berbagai macam daerah juga tidak dapat lepas dari pengaruh kontak budaya ini. Sehingga untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap perubahan-perubahan diperlukan pengembangan-pengembangan yang bersifat global namun tetap bercirikan kekuatan lokal atau etnis. Globalisasi budaya yang begitu pesat harus diantisipasi dengan memperkuat identitas kebudayaan nasional.
            Berbagai kesenian tradisional yang sesungguhnya menjadi aset kekayaan kebudayaan nasional jangan sampai hanya menjadi alat atau slogan para pemegang kebijaksanaan, khususnya pemerintah, dalam rangka keperluan turisme, politik dsb. Selama ini pembinaan dan pengembangan kesenian tradisional yang dilakukan lembaga pemerintah masih sebatas pada unsur formalitas belaka, tanpa menyentuh esensi kehidupan kesenian yang bersangkutan. Akibatnya, kesenian tradisional tersebut bukannya berkembang dan lestari, namun justru semakin dijauhi masyarakat. Dengan demikian, tantangan yang dihadapi oleh kesenian rakyat cukup berat. Karena pada era teknologi dan komunikasi yang sangat canggih dan modern ini masyarakat dihadapkan kepada banyaknya alternatif sebagai pilihan, baik dalam menentukan kualitas maupun selera. Hal ini sangat memungkinkan keberadaan dan eksistensi kesenian rakyat dapat dipandang dengan sebelah mata oleh masyarakat, jika dibandingkan dengan kesenian modern yang merupakan imbas dari budaya pop. Untuk menghadapi hal-hal tersebut di atas ada beberapa alternatif untuk mengatasinya, yaitu meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM ) bagi para seniman rakyat. Selain itu, mengembalikan peran aparat pemerintah sebagai pengayom dan pelindung, dan bukan sebaliknya justru menghancurkannya demi kekuasaan dan pembangunan yang berorientasi pada dana-dana proyek atau dana-dana untuk pembangunan dalam bidang ekonomi saja
            Pengaruh globalisasi disatu sisi ternyata menimbulkan pengaruh yang negatif bagi kebudayaan bangsa Indonesia . Norma-norma yang terkandung dalam kebudayaan bangsa Indonesia perlahan-lahan mulai pudar. Gencarnya serbuan teknologi disertai nilai-nilai interinsik yang diberlakukan di dalamnya, telah menimbulkan isu mengenai globalisasi dan pada akhirnya menimbulkan nilai baru tentang kesatuan dunia. Radhakrishnan dalam bukunya Eastern Religion and Western Though (1924) menyatakan “untuk pertama kalinya dalam sejarah umat manusia, kesadaran akan kesatuan dunia telah menghentakkan kita, entah suka atau tidak, Timur dan Barat telah menyatu dan tidak pernah lagi terpisah, Artinya adalah bahwa antara barat dan timur tidak ada lagi perbedaan. Atau dengan kata lain kebudayaan kita dilebur dengan kebudayaan asing. Apabila timur dan barat bersatu, masihkah ada ciri khas kebudayaan kita? Ataukah kita larut dalam budaya bangsa lain tanpa meninggalkan sedikitpun sistem nilai kita? Oleh karena itu perlu dipertahanan aspek sosial budaya Indonesia sebagai identitas bangsa. Caranya adalah dengan penyaringan budaya yang masuk ke Indonesia dan pelestarian budaya bangsa.
 Saran – Saran
Dari hasil pembahasan diatas, dapat dilakukan beberapa tindakan untuk mencegah terjadinya pergeseran kebudayaan yaitu :
1. Pemerintah perlu mengkaji ulang perturan-peraturan yang dapat menyebabkan pergeseran budaya bangsa
2. Masyarakat perlu berperan aktif dalam pelestarian budaya daerah masing-masing khususnya dan budaya bangsa pada umumnya
3. Para pelaku usaha media massa perlu mengadakan seleksi terhadap berbagai berita, hiburan dan informasi yang diberikan agar tidak menimbulkan pergeseran budaya
4. Masyarakat perlu menyeleksi kemunculan globalisasi kebudayaan baru, sehingga budaya yang masuk tidak merugikan dan berdampak negative. 5. Masyarakat harus berati-hati dalam meniru atau menerima kebudayaan baru, sehingga pengaruh globalisasi di negara kita tidak terlalu berpengaruh pada kebudayaan yang merupakan jati diri bangsa kita

DAMPAK KEBAKARAN HUTAN DI WILAYAH SUMATERA BARAT DAN RIAU TERHADAP PERUBAHAN IKLIM (CLIMATE CHANGE)


 Hutan sebagai bagian dari sumber daya alam nasional memiliki arti dan peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pembangunan dan lingkungan hidup. Telah diterima sebagai kesepakatan internasional bahwa hutan yang berfungsi penting bagi kehidupan dunia, harus dibina dan dilindungi dari berbagai tindakan yang berakibat hilangnya keseimbangan ekosistem dunia. Namun ada saja tindakan dari manusia yang melakukan perusakan hutan diantaranya melaui pembakaran hutan yang akhir-akhir ini semakin marak di Indonesia. Padahal kerugian sosial ekonomi dan ekologis yang timbul oleh kebakaran hutan cukup besar, bahkan dalam beberapa hal sulit untuk diukur dengan nilai rupiah. Secara ekologis insiden kebakaran hutan mengancam flora dan fauna alam Indonesia yang khas, bahkan mungkin membuat punah. Kerugian yang harus ditanggung oleh bangsa Indonesia akibat kebakaran hutan tahun 1997 dulu diperkirakan mencapai Rp. 5,96 trilyun atau sekitar 70,1 % dari nilai PDB sektor kehutanan pada tahun 1997. Malaysia yang juga terkena dampak kebakaran hutan di Indonesia pada tahun 1997 mengalami kerugian US$ 300 juta di sektor industri dan pariwisata, sedangkan Singapura mengalami kerugian sekitar US$ 60 juta di sektor pariwisata.1 Sat ini telah terjadi peningkatan pembakaran hutan secara besar-besaran di Wilayah Propinsi Sumatera Barat dan Riau. Akibat kebakaran hutan di kedua propinsi tersebut telah menimbulkan kabut asap dalam jumlah besar. Hal yang mengkhawatirkan adalah bila dicermati dari tahun ke tahun pembakaran hutan yang terjadi malah semakin meningkat. Untuk wilayah Riau saja misalnya berdasarkan pantauan terakhir satelit NOAA 18 diketahui bahwa ada dua daerah di Riau yang mengalami kebakaran hutan dan lahan Kabupaten Pelelawan dan Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil). Sebelumnya, sekitar 1.450 ha hutan dan lahan di Provinsi Riau terbakar dalam satu pekan terakhir, antara lain di Kabupaten Bengkalis, Dumai dan Pelalawan. Kebakaran hutan juga terjadi di Kuantan Singingi, Rokan Hilir, Indragiri Hulu, dan Indragiri Hilir yang jumlah luasnya hingga kini masih dalam proses penghitungan. Banyaknya titik api tersebut membuat seluruh wilayah di Riau diselimuti kabut asap sehingga daerah itu dinyatakan Siaga.2  Staf Pengajar Bagian Hukum Internasional Fak. Hukum Univ. Andalas. 1 Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia dan UNDP, Laporan Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia, 1998, hlm 1 - 2. 2 Harian Sinar Indonesia Baru tgl 25 Januari 2009. 2 Peristiwa yang sama pada tahun lalu, hanya dalam jangka waktu empat hari, 7.000 hektare hutan dan perkebunan di Riau terbakar. Kebakaran ini terjadi di Pelintung, Dumai, Bukit Batu, dan Bengkalis. Kawasan Kuala Cinaku dan Indragiri Hulu tak luput dari amukan api. Akibat kebakaran itu, asap mengepung kawasan Pekan Baru dan sekitarnya. Jarak pandang pun tidak lebih dari 20 meter. Berdasarkan pengamatan tim operasi Manggala Agni Dumai, hanya dalam waktu empat hari 7.000 hektare lahan ludes dilalap api. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Riau menyatakan terdapat 48 titik api di Riau. Sebaran paling luas dan banyak terjadi di Dumai (27 titik api), Bengkalis (11 titik api), Rokan Hilir (6 titik api), dan Rokan Hulu (4 titik api berdasarkan pantauan satelit NOAA.3 Pada dasarnya, praktek pembakaran lahan atau hutan merupakan salah satu cara yang digunakan oleh perkebunan besar di Riau untuk menaikan pH tanah, disamping biaya yang murah sehingga cocok untuk tanaman seperti sawit. Namun sayangnya, praktek pembakaran lahan atau hutan dengan biaya murah tersebut tidak mempertimbangkan kerugian yang ditimbulkan baik secara langsung maupun tidak langsung. Pada bulan Agustus tahun 2008 saja, BKSDA Propinsi Riau mencatat hanya dalam waktu 13 hari (tanggal 9-12 Agustus 2008) terdapat lebih dari 800 titik api (hot spot) tersebar di 230 perusahaan perkebunan dan HTI. Sedangkan dari bulan Januari - Juli 2008 ada 7.700 lahan yang terbakar dengan luas 33 hektar hutan. Ini belum lagi terhitung kebakaran hutan yang terjadi di Wilayah Propinsi Sumatera Barat yang juga mengalami peningkatan pembakaran hutan dari tahun ke tahun. Kebakaran hutan yang terjadi di kedua wilayah tersebut telah menimbulkan kerugian yang cukup banyak diantaranya hilangnya kesempatan panen, penyakit pernapasan (ISPA), menganggu penerbangan, rusaknya lingkungan dengan hilangnya suatu ekosistem dan lainnya. Dampak sampingan lainnya yang telah mulai dirasakan adalah naiknya suhu permukaan bumi telah menimbulkan cuaca panas dan kering yang pada akhirnya ikut serta mendorong perubahan iklim (Climate Change). Saat sekarang suhu dan cuaca sudah mengalami perubahan yang signifikan. Misalnya kalau dulu pada bulan-bulan tertentu (seperti bulan November - Desember) musim hujan sekarang sudah tidak bisa lagi diprediksi. Bahkan pada bulan-bulan tersebut malah yang terjadi musin panas dan kering. Hal ini tentu menyulitkan bagi petani dalam menanam karena mereka menanam tersebut terlebih dahulu memprediksikan kapan waktu terbaik untuk itu. Oleh karena, penulis tertarik untuk meneliti dan membahas hal ini untuk melihat dampak jangka panjangnya dari kebakaran hutan yang ternyata juga ikut mendorong perubahan iklim saat ini tentunya menjadi suatu hal yang menarik untuk diteliti dan di bahas. 3 Zainal Arifin, Kebakaran Hutan di Riau Semakin Meluas, diakses di www, googgle.com pada tanggal 19 Febuari 2008 3 B. Permasalahan Berdasarkan uraian diatas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah bentuk -bentuk kebakaran hutan yang terjadi di Wilayah Sumatera Barat dan Riau ? 2. Bagaimanakah dampak dan pengaturan hukum terhadap kebakaran hutan yang terjadi pada Wilayah Sumatera Barat dan Riau terhadap Perubahan Iklim (Climate Change)? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk - bentuk kebakaran hutan yang telah terjadi melalui pemetaan daerah-daerah yang sering terjadi kebakaran hutan (hot spot) di Wilayah Sumatera Barat dan Riau. Dan lebih jauh lagi bagaimanakah dampak yang ditimbulkan dari kebakaran hutan yang terjadi di wilayah tersebut yang telah ikut mendorong terjadinya perubahan iklim dalam jangka panjang. Pada akhirnya akan dilihat bagaimanakah pengaturan hukum yang ada untuk mencegah dan mengupayakan tindakan kebakaran hutan yang dilakukan secara besar-besaran tersebut dapat di minimalisir untuk ke depan. TINJAUAN PUSTAKA Menurut Pasal 1 UU No. 4 tahun 1999 tentang Kehutanan maka pengertian ”hutan” adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Lebih lanjut dalam Pasal 1 PP No.4 tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau lahan menyatakan : “Dampak lingkungan yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan adalah pengaruh perubahan pada lingkungan hidup yang berupa kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan yang diakibatkan oleh suatu usaha dan atau kegiatan”. Dalam hukum nasional juga diberikan pengaturan berkaitan dengan persoalan pencemaran yaitu UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PLH). Pada pasal 1 butir 12 memberikan pengertian tentang “Pencemaran Lingkungan Hidup” secara umum adalah: “Masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain kedalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitas turun sampai ketingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya.” Setiap kegiatan manusia akan menambah materi atau energi pada lingkungan. Apabila materi atau energi membahayakan atau mengancam kesehatan manusia, miliknya atau sumber daya, baik langsung maupun tidak 4 langsung dikatakan terjadi pencemaran. Menurut pengertian diatas, suatu kegiatan yang dikehendaki, dapat pula menghasilkan atau menimbulkan pengaruh samping yang tidak dikehendaki.4 Demikian juga halnya dengan kebakaran hutan, baik sengaja maupun tidak telah menimbulkan dampak terhadap manusia dan lingkungan yang berupa terjadinya pencemaran udara akibat akumulasi asap. Beberapa sumber pencemaran udara adalah sarana transportasi (misalnya mobil dan truk), kebakaran hutan dan lahan, proses industri dan pembakaran energy (misalnya sistem pemanasan di rumah tangga). Pusat-pusat pembangkit tenaga listrik juga mempunyai peranan yang amat besar tehadap peningkatan kehadiran zat-zat pencemar (misalnya sulfur oksida, karbon monoksida dan hidrokarbon) di udara.5 Perkembangan akhir-akhir ini menunjukkan bahwa faktor kesengajaan seringkali merupakan penyebab utama kebakaran hutan, yang antara lain dikarenakan : 1. Pembakaran limbah vegetasi yang tak terkendali. 2. Motif balas dendam baik secara perorangan maupun kelompok. Keadaan ini biasanya terjadi pada hutan tanaman/hutan industri maupun perkebunan. 3. Menduduki kawasan/perambahan hutan kemudian membakar hutan untuk kepentingan lain. 4. Motif pencurian kayu yaitu : - Mengalihkan perhatian petugas - Mengelabui petugas dengan membakar kulit kayu gelondongan yang dibawa. Hal ini membuktikan bahwa kayu tersebut bukan berasal dari hutan 5. Sebagai pelampiasan kekesalan karena adanya operasi pengamanan kayu atau operasi-operasi penertiban lainnya. 6. Konflik peruntukan lahan. 7. Kekecewaan akibat janji yang tidak ditepati biasanya terjadi pada HTI trans, PIR dan lain-lain. 6 Sedangkan dampak terhadap ekologis dan kerusakan lingkungan yaitu terkait dengan perubahan fungsi pemanfaatan dan peruntukan lahan hutan sebelum terbakar secara otomatis memiliki banyak fungsi. Sebagai catchment area, penyaring karbondioksida maupun sebagai mata rantai dari suatu ekosistem yang lebih besar yang menjaga keseimbangan planet bumi. Ketika hutan tersebut 4 Koesnadi Hardjasoematri, Hukum Tata Lingkungan, Edisi ke-tujuh cetakan ke-empat belas, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1999. hlm 24 5 Takdir Rahmadi, Diklat Hukum Lingkungan Internasional, Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, 2000, hlm. 35. 6 Siswanto, Bencana Kebakaran Hutan : Prediksi Dan Penanggulangannya, Majalah Alami, Vol. 3 No. 3 tahun 1998, hlm. 10 5 terbakar fungsi catchment area tersebut juga hilang dan karbondioksida tidak lagi disaring namun melayang-layang diudara. Dalam suatu ekosistem besar, panas matahari tidak dapat terserap dengan baik karena hilangnya fungsi serapan dari hutan yang telah terbakar tersebut. Saat ini, kebakaran hutan yang marak terjadi pada beberapa negara yang memiliki hutan yang luas ternyata memberikan dampak terhadap perubahan iklim. Dal ini merata terjadi di seluruh dunia, meskipun negara-negara miskin yang akan merasakan dampak sangat buruk, perubahan iklim juga melanda negara maju. Pada tahun 2020, sekitar 75 juta hingga 250 juta penduduk Afrika akan kekurangan sumber air dan penduduk kota-kota besar di Asia akan berisiko terlanda banjir. Di Eropa akan terjadi kepunahan spesies dan iklim Eropa akan menjadi lebih dingin. Sementara di Amerika Utara, gelombang panas makin lama dan menyengat sehingga perebutan sumber air akan semakin tinggi.7 Di Indonesia sendiri, dampak perubahan iklim sudah sangat nyata dan bila tidak diantisipasi mulai sekarang, kerugiannya bakal sangat besar. Akibat perubahan iklim maka permukaan laut Indonesia naik 0,8 cm per tahun dan berdampak pada tenggelamnya pulau-pulau nusantara hampir satu meter dalam 15 tahun ke depan. Dampak lain dari perubahan iklim adalah terjadinya pergeseran iklim dari yang seharusnya Juni 2006 sudah musim kemarau, Kalimantan dan Sumatra malah masih mengalami banjir besar dan bulan September yang seharusnya sudah dimulai musim hujan bergeser mulai bulan November. Indikasi perubahan iklim yang begitu jelas dirasakan misalnya kenaikan suhu yang ekstrem beberapa waktu belakangan ini misalnya suhu di Kalimantan yang biasanya sekitar 35 derajat Celcius naik menjadi 39 derajat Celcius. Di Sumatera yang biasanya berkisar pada 33-34 derajat naik menjadi 37 derajat, dan di Jakarta yang biasanya 32-34 naik menjadi 36 derajat Celcius. Akibat dari hal itu bisa sungguh fatal di mana diperkirakan Indonesia akan kehilangan 2.000 pulau dan mundurnya garis pantai yang mengakibatkan luas wilayah Indonesia akan berkurang. Kenaikan muka air laut tidak hanya mengancam pesisir pantai tetapi juga di kawasan perkotaan. Dewasa ini setiap kali terjadi hujan di beberapa daerah di Indonesia diikuti dengan banjir besar yang menengelamkan dan mengenangi area-area pemukiman penduduk dan hal ini dulunya tidak pernah terjadi. Menurut Pasal 1 ayat 2 Konvensi Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change) tahun 1992 maka dinyatakan : “Climate Change jeans a change of climate which is atributed directly or indirectly to human activity that alters the composition of the global atmosphere and which is in addition to natural climate variability observed over comparable time periods”. Dengan demikian, perubahan iklim adalah perubahan iklim yang terjadi secara langsung dan tidak langsungsebagai akibat dari aktivitas manusia yang merubah komposisi atmosfer secara global melalui pengamatan dalam kurun waktu yang dapat dibandingkan. Perubahan iklim (Climate Change) sudah lama dikenal sejak dulu, pada dasarnya iklim selalu berubah menurut ruang dan waktu 7 www. kompas.com diakses tgl 6 Januari 2009. 6 yang membentuk siklus tertentu. Iklim seringkali didefinisikan sebagai statu cuaca rata-rata dimana iklim biasanya dijelaskan dengan suhu rata-rata dan variabilitas suhu, presipitasi dan angin selama periode (periode yang digunakan adalah 30 tahun). Sistem iklim berubah terhadap waktu dengan adanya pengaruh dinamika internal iklim dan sebagai akibat dari berbagai perubahan pada factor-faktor eksternal seperti manusia. Sebagai statu contoh pada Revolusi Industri tahun 1870-an yang di nilai memicu terjadinya perubahan iklim yang mengunakan ban bakar fosil yakni minyak bumi, gas alam, batu bara dan lainnya yang menghasilkan berbagai macam gas-gas rumah kaca dan mencemari lingkungan. Gas rumah kaca adalah gas-gas di atmosfer yang memiliki kemampuan untuk menyerap radiasi matahari yang dipantulkan oleh bumi sehingga menyebabkan suhu di permukaan bumi menjadi panas. Menurut Protoko Kyoto tahun 1997 pada Annex A maka ada 6 jenis gas yang digolongkan sebagai gas rumah kaca yakni : Karbondioksida (CO2), Metana (CH4), Nitrooksida (N2O), Hidrofluorokarbon (HFCs), Perfluorokarbon (PFCs) dan Sulfurheksafluorida (SF6). Ke enam jenis gas ini memberikan konstribusi besar terjadinya perubahan iklim di bumi terutama sekali gas Karbondioksida (CO2). Gas Karbondioksida umumnya dihasilkan dari bahan bakar batubara, gas alam, minyak bumi, mobil, pemanas ruangan dan instalasi pembangkit tenaga. Gas metana berasal dari pembusukan bangkai hewan, binatang memamah biak (sapi domba, camping, onta dan kerbau), sawah, sampah dan pertambangan.8 Dinitrooksida (N2O) juga merupakan hasil dari pembakaran van bakar fosil di sector energi, transportasi dan industri. Sedangkan Sulfurheksafluorida (SF6), Perfluorokarbon (PFCs) dan Hidrofluorokarbon (HFCs) dihasilkan dari industri manufaktur, industri pendingin (freon) dan pengunaan Aerosol. Atmosfer merupakan media penerima dan perjalanan gas-gas buang seperti gas-gas rumah kaca atau bahan pencemar. Atmosfer bumi adalah gas yang melapisi bumi dan terbagi dalam beberapa lapisan. Lapisan yang paling dalam disebut Troposfer yang tebalnya sekitar 17 km di atas permukaan bumi. Sebagian besar udara dalam lapisan Troposfer selalu berputar-putar dan terus bergerak dan menjadi panas oleh sinar matahari, kemudian bergerak lagi diganti oleh udar dingin yang akan menjadi panas kembali begitu seterusnya. Proses fisik tersebut menyebabkan terjadinya pergerakan udara dalam lapisan Troposper dan merupakan factor utama untuk mendeteksi iklim dan cuaca di permukaan bumi.9 Pada lapisan troposfer, gas-gas rumah kaca dapat diserap, yang menyebabkan suhu panas di bumi. Pada hakikatnya proses ini memang wajar, namun lain halnya bila produksi gas-gas rumah kaca meningkat. Lapisan kedua dari atmosfer adalah Stratosfer dengan ketebalan sekitar 17 km, jaraknya dari permukaan bumi sekitar 17 km sampai 48 km di atas permukaan bumi. Pada lapisan ini ditemukan sejumlah ozon yang dapat 8 Bernadette West, Peter M. Sandman dkk, “Panduan Lingkungan Hidup”, Penerbit Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2001, hal. 157. 9 Darmono, “Lingkungan Hidup dan Pencemaran”, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 2001, hal. 9. 7 menyaring sinar berbahaya dari matahari yaitu sinar ultraviolet.10 Stratosfer ini mencegah insensitas sinar matahari yang merusak bumi dan isinya. Begitu juga lapisan Mesosfer dan Termosfer yang melindungi bumi dengan lapisan Ozon. Lapisan ozon adalah lapisan atmosesfer yang berfungsi sebagai pelindung dari sinar ultraviolet yang datang berlebihan dari matahari, apabila lapisan ozon rusak maka sifat ozon tidak dapat berfungsi lagi.11 Kalangan ahli memprediksi akibat yang terjadi dari pembolongan ozon diantaranya yaitu terjadinya perubahan iklim contohnya musim dingin menjadi sangat dingin dan panjang, demikian juga dengan sifat musim panasnya.12 Pada dasarnya sistem iklim terbagi atas beberapa pembagian berdasarkan daerahnya yaitu :13 1. Daerah tropis dengan temperatur rata-rata setiap tahun dan bulannya sekitar 20 derajat Celsius. 2. Daerah Subtropis dengan temperatur dari bulan ke 4 sampai 11 diatas 20 derajat Celsius dan keseimbangannya diantara 10 dan 20 derajat Celsius. 3. Daerah iklim sedang, temperatur dari bulan ke-4 sampai 12 rata-rata 10-20 derajat Celsius dan sisanya lebih dingin. 4. Daerah dingin dari bulan ke 1- 4 dengan temperatur 10-20 derajat Celsius dam sisanya lebih dingin. 5. Daerah kutub dengan 12 bulan ke bawah 10 derajat Celsius. Beberapa pemantauan mengenai peningkatan suhu permukaan bumi untuk rata-rata global yaitu dari tahun 1910-an suhu mengalami kenaikan sebesar 0,35 derajat Celsius, kemudian dari tahun 1970-an hinga tahun 2008 suhu mengalami kenaikan menjadi 0,55 derajat Celsius, sejak akhir tahun 1950 menunjukan bahwa lapisan Traposfer (diatas 10 km) telah memanas, sementara Straposfer (sekitar15- 30km) telah mendingin secara dratis sejak tahun 1979.14 Peningkatan suhu pada bumi akan mengakibatkan terjadinya perubahan iklim yang cukup ekstrem pada daerah-daerah tertentu, sebagai sebuh contoh, musim semi yang datang lebih awal dan musim gugur yang datang terlambat. Perubahan iklim lebih banyak disebabkan oleh berbagai akivitas manusia yang telah merusak dan mencemari lingkungan. Sebab-sebab timbulnya masalah lingkungan menurut para sarjana terdiri atas teknologi, penduduk, ekonomi dan tata nilai moral yang meliputi : a. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menurut Barry Componer dalam bukunya “The Closing Circle” dimana hasil-hasil teknologi itu diterapkan dalam sector industri, pertanian, transportasi 10 Ibid, hal. 10. 11 Wisnu Arya Wardhana, “Dampak Pencemaran Lingkungan”, Penerbit Andi, Yogyakarta, 2004, hal. 133. 12 Imam Baehaqie, “Melawan Pencemaran Lingkungan” Penerbit Puspa Swara, Jakarta, 1993, hal.9. 13 Dadang Rusbiantoro, “Global Warming for Beginner”, Penerbit O2, Yogkarta, 2008, hal.24 14 Sulystiowati, “Tanya Jawab Sekitar Perubahan Iklim”, BPPK Deplu, Jakarta, 2007, hal 9. 8 dan komunikasi yang nantinya menyebabkan timbulnya masalah lingkungan. b. Penduduk dimana pertumbuhan penduduk dan peningkatan kekayaan memberikan sumbangan penting terhadap penurunan kualitas hidup lingkungan hidup. c. Alasan ekonomi merupakan faktor pendukung yang amat dominan dimana menurut Hardin dalam karyanya “The Tragedy of Common” melihat bahwa alasan-alasan ekonomi yang mengerakan manusia untuk mengeksploitasi sumber daya alam semaksimal mungkin sehingga terjadi pemerosotan kualitas dan cuantiĆ­tas sumber daya alam. d. Tata nilai juga merupakan faktor pendukung yang amat dominan. Para pakar menyatakan masalah lingkungan disebabkan oleh tata nilai yang berlaku menempatkan kepentingan manusia sebagai pusat dari segalagalanya dari alam semesta sehingga keadaan lingkungan tidak diperhatikan. METODE PENELITIAN A. Bentuk Penelitian Penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian yuridis normatif yang yang di tunjang dengan yuridis sosiologis. Penelitian normatif dilakukan dengan cara meneliti bahan perpustakaan atau data sekunder (penelitian hukum kepustakaan).15 Selanjutnya untuk melengkapi data sekunder ditunjang dengan data primer melalui penelitian ke lapangan dengan mewawancarai nara sumber terkait maupun para ahli di bidang permasalahan ini. B. Bahan-bahan Penelitian Di dalam penelitian yuridis normatif ini maka data sekunder yang digunakan mencakup : 1. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, dan terdiri dari Konvensi Perubahan Iklim (Convention on Climate Change) tahun 1992, Deklarasi Stockholm tahun 1972 tentang Lingkungan Hidup, Undang-Undang No, 45 tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan, Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang 23 tahun 1997 tentang Pengelolan Lingkungan Hidup, Peraturan Pemerintah No. 4 tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan Pencemaran Lingkungan Hidup serta peraturan nasional lainnya. 2. Bahan Hukum Sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yaitu : 15 Soerjono Soekanto, 2006, “Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat”, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 23. 9 a. Berbagai literatur dan buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan ini; b. Hasil seminar dan makalah lainnya yang berkaitan dengan ini; c. Berbagai artikel yang termuat dalam surat kabar. 3. Bahan Hukum Tertier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, yang dalam hal ini adalah : a. Kamus Bahasa Inggris – Indonesia b. Kamus Hukum (Black Law Dictionary) Kemudian penelitian yuridis normatif tersebut diatas ditunjang dengan yuridis sosiologis melalui peninjauan atau observasi ke lapangan pada daerah-daerah hutan yang telah terbakar atau menjadi titik api (hot spot) di wilayah Sumatera Barat dan Riau. Disamping itu sebagai pelengkap dan keakuratan data dilakukan wawancara kepada nara sumber terkait dengan permasalahan ini. C. Tekhnik Pengumpulan Data Data penelitian akan dikumpulkan dengan cara yaitu : 1. Studi Pustaka (Studi Dokumentasi), berupa studi dokumen akan dilakukan dengan mempelajari, menganalisa dan mengkaji konvensi, peraturan perundang-undangan, literatur-literatur dan bahan bacaan yang berkaitan dengan permasalahan ini. Sedangkan konvensi, peraturan perundangundangan, literatur-literatur dan bahan bacaan di peroleh melalui penelusuran kepustakaan di : - Pusat Lingkungan Hidup (PSLH) di Universitas Riau (UNRI). - Dinas Kehutanan di Propinsi Riau. - Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup Daerah (Bapedalda) di Riau. - Pusat Lingkungan Hidup (PSLH) di Universitas Andalas. - Dinas Kehutanan Propinsi Sumatera Barat. - Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup Daerah (Bapedalda) di Riau. - Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak di Bidang Lingkungan Hidup. - Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Andalas di Padang. - Perpustakaan Daerah Sumatera Barat di Padang. - Dan lainnya. Disamping itu juga menerjemahkan bahan-bahan, dokumen atau buku-buku yang berbahasa asing untuk melengkapi keakuratan data serta mengunakan multi media lainnya seperti internet. 10 2. Observasi adalah memahami realitas subyektif, inter-subyektif tindakan dan interaksi sosial obyek. Observasi merupakan metode yang paling awal untuk memperoleh informasi tentang kondisi obyek penelitian. Jenis observasinya adalah observe as participant, yaitu pengamat memberitahukan maksud kedatangannya kepada obyeknya dan hanya berlangsung singkat dari beberapa kali kunjungan. 3. Kuesioner, adalah alat pengumpulan data yang berisikan sejumlah pertanyaan kepada responden penelitian yang dirancang secara sistematis sesuai dengan urut-urutan kedalaman informasi yang diinginkan. 4. Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu yang dilakukan oleh pewawancara dengan yang diwawancarai. Wawancara mendalam (indepth interview) dilakukan terhadap informan penelitian yang dipilih berdasarkan kepada kriteria tertentu. Wawancara mendalam ini dilakukan terutama untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tidak mampu terjawab dalam kuesioner penelitian. Penelitian lapangan dilakukan sebagai pelengkap dengan melakukan wawancara secara tidak terstruktur dengan beberapa sampling yaitu masryarakat yang hidup di sekitar hutan, pengusaha kayu, pejabat kehutanan, para ahli dibidang ini serta dengan nara sumber lainnya yang berkompeten yang menangani permasalahan tersebut. D. Lokasi Penelitian Lokasi yang akan menjadi tempat penelitian yaitu Wilayah Sumatera Barat dan Riau. Dipilihnya kedua lokasi ini disebabkan di dua wilayah tersebut banyak terdapat hutan-hutan yang masih produktif namun sayangnya pada wilayah inilah sering kali terjadi pembakaran hutan secara besar-besaran. Hal yang menarik tingkat pembakaran hutan tersebut dari tahun ke tahun menunjukan peningkatan baik dari areal yang terbakar, kayu yang di rambah maupun kerusakan lingkungan yang ditimbulkan. Dari pantauan satelit titik-titik api di Wilayah Sumatera terkait dengan kebakaran hutan paling banyak berada di Wilayah Sumatera Barat dan Riau. E. Tekhnik Analisa Data Sifat penelitian yang akan dilakukan adalah deskriptif yuridis. Sifat deskriptif karena hasil penelitian ini diharapkan akan diperoleh gambaran faktual secara mendetail dan sistematis berkaitan dengan variabel-variabel yang diteliti. Data-data yang diperoleh akan diolah dan dianalisa secara ”kualitatif”. Analisa ini akan diawali dengan meneliti konvensi, peraturan perundang-undangan, literaturliteratur dan hal-hal berkaitan dengan kebakaran hutan yang terjadi di Wilayah Sumatera Barat dan Riau serta dampaknya terhadap Perubahan Iklim (Climate Change), memilih data-data hasil dari wawancara serta dilanjutkan dengan kesimpulan dan generalisasinya. 11 HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. BENTUK -BENTUK KEBAKARAN HUTAN DI WILAYAH SUMATERA BARAT DAN RIAU Beberapa waktu lalu sekitar 1.450 ha hutan dan lahan di Provinsi Riau terbakar dalam satu pekan terakhir antara lain di Kabupaten Bengkalis, Dumai, dan Pelalawan. Kebakaran hutan juga terjadi di Kuantan Singingi, Rokan Hilir, Indragiri Hulu, dan Indragiri Hilir yang jumlah luasnya hingga kini masih dalam proses penghitungan. Banyaknya titik api tersebut membuat seluruh wilayah di Riau diselimuti kabut asap sehingga daerah itu dinyatakan Siaga I. Hanya dalam waktu empat hari, 7.000 hektare hutan dan perkebunan di Riau terbakar. Kebakaran ini terjadi di Pelintung, Dumai, Bukit Batu, dan Bengkalis. Kawasan Kuala Cinaku dan Indragiri Hulu tak luput dari amukan api. Menurut Kepala Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Riau api tidak bisa dikendalikan lagi sehingga kobarannya semakin luas. Dalam pemetaan yang dilakukan pusat pengendali kebakaran, titik api awalnya terlihat di Dusun Pelintung, Dumai, 300 kilometer arah utara Pekanbaru. Upaya pemadaman gagal karena angin kencang dari tepi pantai Selat Malaka. Lahan bergambut membuat api cepat menjalar ke tempat lain Saat ini, pusat pengendali sudah meminta bantuan Pemerintah Pusat untuk mengirim tim dan peralatan yang memadai. Wilayah Sumatra Utara (Sumut) aman dari kabut asap yang berasal dari peristiwa kebakaran hutan di Riau karena pergerakan angin bertiup dan berasal dari arah Timur Laut. Namun asap Sumatera khususnya Riau menuju Sumatera Barat (Sumbar). Kini sudah terdapat 238 titik panas kebakaran hutan atau hot spot di seluruh Sumatera dan 150 titik di antaranya ada di Riau. Luas hutan yang terbakar di Riau mencapai 4.000 ha. Selain di Sumatera, hutan-hutan di Malaysia juga turut terbakar. Pantauan BMG, terdapat 63 lokasi kebakaran di Malaysia dan asapnya juga mengarah ke Sumatera Barat.16 Meski baru sepekan tidak diguyur hujan, kebakaran hutan dan lahan mulai menghantui Sumatra Barat (Sumbar). Badan Meterologi dan Geofisika (BMG) Tabing Padang di awal pekan ini mencatat setidaknya ada delapan titik api di arah utara Sumbar. Akibat titik api tersebut, beberapa kawasan di Sumbar sudah mulai diselimuti kabut asap tipis. Kabut asap mulai terlihat pagi hari di arah timur Kota Padang. Meski demikian, kabut itu belum mengganggu jarak pandang. Matahari saat ini berada di belahan bumi selatan. Sehingga, tekanan udara di selatan lebih rendah jika dibandingkan dengan di utara. Ini mengakibatkan angin bertiup dari utara ke selatan. Kondisi ini, sekaligus mengakibatkan kecenderungan lebih kering di kawasan Sumbar, sebab angin tidak membawa uap air. Oleh karena itu meski delapan titik api yang terpantau sebelumnnya sudah padam, bukan tidak mungkin akan muncul kembali. Sebelumnya, pada hari senin tanggal 25 Januari 2009 dan 16 www.antara.co.id diakses Juni 2009 12 Selasa tanggal 26 Januari 2009 kawasan Bukit Gado-Gado di Padang yang banyak ditumbuhi ilalang terbakar. Tim Pemadam Kebakaran dan warga sempat kerepotan memadamkan api di bukit tempat kuburan warga keturunan tersebut. Disamping itu juga terjadi, dua kebakaran hutan dan lahan terjadi di Sumatera Barat, yakni hutan di Sungai Rumbai Kabupaten Sijunjung, serta satu lokasi di Kabupaten Tanah Datar. Tim pemadam kebakaran hutan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Barat baru meluncur ke lokasi. Sejak sepekan terakhir, cuaca di Kota Padang cerah dan panas. Hujan yang pada awal hingga pertengahan bulan Oktober sering turun, kini sudah berhenti total. Kondisi ini menyebabkan kondisi hutan dan lahan menjadi sangat kering sehingga mudah terbakar. Namun kebakaran hutan di kawasan Medang, Kampai, Dumai, Provinsi Riausemakin meluas. Ini diakibatkan tiupan angin kencang sehingga api menjalar dengan cepat. Titik api yang semula hanya sekitar 20 titik, saat ini semakin meluas dan seperti tak terkendali. Sejauh ini, Pemerintah Provinsi Riau telah menambah dua helikopter untuk membantu memadamkan api dari udara. Dengan demikian, sudah empat unit helikopter yang beroperasi untuk memadamkan lokasi kebakaran yang sulit ditempuh melalui jalan darat. Selain itu, ratusan personel pemadam kebakaran juga telah Jilatan api juga telah menghanguskan sekitar 300 hektare hutan tanaman industri milik PT Indah Kiat. Bahkan, kobaran api sudah kian dekat mendekati lokasi pabrik dan perumahan dalam komplek kawasan industri Dumai. Kebakaran yang melanda lebih dari 1.000 hektare hutan dan lahan di Riau berawal dari terbakarnya hutan di kawasan Pelintung, Medang, Kampai, Dumai. Kebakaran kemudian menjadi semakin tidak terkendali ketika api mulai merambat ke lahan gambut. Selain menghanguskan ratusan hektare hutan dan lahan, peristiwa itu juga memicu bencana kabut asap di kawasan Riau. Sebenarnya persitiwa kebakaran hutan tahun 2009 ini di Raiau merupakan peristiwa yang sama pada tahun lalu, hanya dalam jangka waktu empat hari, 7.000 hektare hutan dan perkebunan di Riau terbakar. Kebakaran ini terjadi di Pelintung, Dumai, Bukit Batu, dan Bengkalis. Kawasan Kuala Cinaku dan Indragiri Hulu tak luput dari amukan api. Akibat kebakaran itu, asap mengepung kawasan Pekan Baru dan sekitarnya. Jarak pandang pun tidak lebih dari 20 meter. Berdasarkan pengamatan tim operasi Manggala Agni Dumai, hanya dalam waktu empat hari 7.000 hektare lahan ludes dilalap api. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Riau menyatakan terdapat 48 titik api di Riau. Sebaran paling luas dan banyak terjadi di Dumai (27 titik api), Bengkalis (11 titik api), Rokan Hilir (6 titik api), dan Rokan Hulu (4 titik api berdasarkan pantauan satelit NOAA.17 Pada dasarnya, praktek pembakaran lahan atau hutan merupakan salah satu cara yang digunakan oleh perkebunan besar di Riau untuk menaikan pH tanah, disamping biaya yang murah sehingga cocok untuk tanaman seperti sawit. Namun sayangnya, praktek pembakaran lahan atau hutan dengan biaya murah tersebut 17 Zainal Arifin, Kebakaran Hutan di Riau Semakin Meluas, diakses di www, googgle.com pada tanggal 19 Febuari 2008 13 tidak mempertimbangkan kerugian yang ditimbulkan baik secara langsung maupun tidak langsung. Pada bulan Agustus tahun 2008 saja, BKSDA Propinsi Riau mencatat hanya dalam waktu 13 hari (tanggal 9-12 Agustus 2008) terdapat lebih dari 800 titik api (hot spot) tersebar di 230 perusahaan perkebunan dan HTI. Sedangkan dari bulan Januari - Juli 2008 ada 7.700 lahan yang terbakar dengan luas 33 hektar hutan. B. DAMPAK DAN PENGATURAN HUKUM TERHADAP KEBAKARAN HUTAN DI WILAYAH SUMATERA BARAT DAN RIAU TERHADAP PERUBAHAN IKLIM (CLIMATE CHANGE) Akibat kebakaran hutan maka menyebabkan hilangnya sejumlah mata pencaharian masyarakat di dan sekitar hutan. Sejumlah masyarakat yang selama ini menggantungkan hidupnya dari hasil hutan tidak mampu melakukan aktivitasnya. Asap yang ditimbulkan dari kebakaran tersebut sedikit banyak mengganggu aktivitasnya yang secara otomatis juga ikut mempengaruhi penghasilannya. Setelah kebakaran usaipun dipastikan bahwa masyarakat kehilangan sejumlah areal dimana ia biasa mengambil hasil hutan tersebut seperti rotan, karet dan sebagainya. Terganggunya aktivitas sehari-hari akibat adanya gangguan asap secara otomatis juga mengganggu aktivitas yang dilakukan manusia sehari-hari. Misalnya pada pagi hari sebagian orang tidak dapat melaksanakan aktivitasnya karena sulitnya sinar matahari menembus udara yang penuh dengan asap. Demikian pula terhadap banyak aktivitas yang menuntut manusia untuk berada di luar ruangan. Adanya gangguan asap akan mengurangi intensitas dirinya untuk berada di luar ruangan. Disamping itu, juga terjadi peningkatan jumlah hama. Sejumlah spesies dikatakan sebagai hama bila keberadaan dan aktivitasnya mengganggu proses produksi manusia. Bila tidak “mencampuri” urusan produksi manusia maka ia akan tetap menjadi spesies sebagaimana spesies yang lain. Sejumlah spesies yang potensial untuk menjadi hama tersebut selama ini berada di hutan dan melakukan interaksi dengan lingkungannya membentuk rantai kehidupan. Kebakaran yang terjadi justru memaksanya terlempar dari rantai ekosistem tersebut. Dan dalam beberapa kasus ‘ia’ masuk dalam komunitas manusia dan berubah fungsi menjadi hama dengan merusak proses produksi manusia yang ia tumpangi atau dilaluinya. Hal terpenting dari dampak kebakaran hutan yang terjai di wilayah Sumatera Barat dan Riau adalah terhadap ekologis dan kerusakan lingkungan. Hilangnya sejumlah spesies kebakaran bukan hanya meluluh lantakkan berjenisjenis pohon namun juga menghancurkan berbagai jenis habitat satwa lainnya. Umumnya satwa yang ikut musnah ini akibat terperangkap oleh asap dan sulitnya jalan keluar karena api telah mengepung dari segala penjuru. Belum ada penelitian yang mendalam seberapa banyak spesies yang ikut tebakar dalam kebakaran hutan di Indonesia. Ancaman erosi dari kebakaran yang terjadi di lereng-lereng pegunungan ataupun di dataran tinggi akan memusnahkan sejumlah tanaman yang juga berfungsi menahan laju tanah pada lapisan atas untuk tidak terjadi erosi. Pada saat hujan turun dan ketika run off terjadi, ketiadaan akar tanah akibat terbakar sebagai pengikat akan menyebabkan tanah ikut terbawa oleh hujan ke bawah yang 14 pada akhirnya potensial sekali menimbulkan bukan hanya erosi tetapi juga longsor. Perubahan fungsi pemanfaatan dan peruntukan lahan hutan sebelum terbakar secara otomatis memiliki banyak fungsi. Sebagai catchment area, penyaring karbondioksida maupun sebagai mata rantai dari suatu ekosistem yang lebih besar yang menjaga keseimbangan planet bumi. Ketika hutan tersebut terbakar fungsi catchment area tersebut juga hilang dan karbondioksida tidak lagi disaring namun melayang-layang diudara. Dalam suatu ekosistem besar, panas matahari tidak dapat terserap dengan baik karena hilangnya fungsi serapan dari hutan yang telah terbakar tersebut. Hutan itu sendiri mengalami perubahan peruntukkan menjadi lahan-lahan perkebunan dan kalaupun tidak maka ia akan menjadi padang ilalang yang akan membutuhkan waktu lama untuk kembali pada fungsinya semula. Penurunan kualitas air kebakaran hutan memang tidak secara signifikan menyebabkan perubahan kualitas air. Kualitas air yang berubah ini lebih diakibatkan faktor erosi yang muncul di bagian hulu. Ketika air hujan tidak lagi memiliki penghalang dalam menahan lajunya maka ia akan membawa seluruh butir tanah yang ada di atasnya untuk masuk kedalam sungai-sungai yang ada. Akibatnya adalah sungai menjadi sedikit keruh. Hal ini akan terus berulang apabila ada hujan di atas gunung ataupun di hulu sungai sana. Terganggunya ekosistem terumbu karang Terganggunya ekosistem terumbu karang lebih disebabkan faktor asap. Tebalnya asap menyebabkan matahari sulit untuk menembus dalamnya lautan. Pada akhirnya hal ini akan membuat terumbu karang dan beberapa spesies lainnya menjadi sedikit terhalang untuk melakukan fotosintesa. Sedimentasi di aliran sungai akibat tebalnya lumpur yang terbawa erosi akan mengalami pengendapan di bagian hilir sungai. Ancaman yang muncul adalah meluapnya sungai bersangkutan akibat erosis yang terus menerus. Di Indonesia sendiri, dampak perubahan iklim (climate change) sudah sangat nyata dan bila tidak diantisipasi mulai sekarang, kerugiannya bakal sangat besar. Akibat perubahan iklim maka permukaan laut Indonesia naik 0,8 cm per tahun dan berdampak pada tenggelamnya pulau-pulau nusantara hampir satu meter dalam 15 tahun ke depan. Dampak lain dari perubahan iklim adalah terjadinya pergeseran iklim dari yang seharusnya Juni 2006 sudah musim kemarau, Kalimantan dan Sumatra malah masih mengalami banjir besar dan bulan September yang seharusnya sudah dimulai musim hujan bergeser mulai bulan November. Indikasi perubahan iklim yang begitu jelas dirasakan misalnya kenaikan suhu yang ekstrem beberapa waktu belakangan ini misalnya suhu di Kalimantan yang biasanya sekitar 35 derajat Celcius naik menjadi 39 derajat Celcius. Di Sumatera yang biasanya berkisar pada 33-34 derajat naik menjadi 37 derajat, dan di Jakarta yang biasanya 32-34 naik menjadi 36 derajat Celcius. Akibat dari hal itu bisa sungguh fatal di mana diperkirakan Indonesia akan kehilangan 2.000 pulau dan mundurnya garis pantai yang mengakibatkan luas wilayah Indonesia akan berkurang. Kenaikan muka air laut tidak hanya mengancam pesisir pantai tetapi juga di kawasan perkotaan. Dewasa ini setiap kali terjadi hujan di beberapa daerah di Indonesia diikuti dengan banjir besar yang menengelamkan dan 15 mengenangi area-area pemukiman penduduk dan hal ini dulunya tidak pernah terjadi. Begitupun kebakaran besar hutan yang terjadi baru-baru ini di wilayah Sumatera Barat dan Riau telah ikut menyumbang terjadinya perubahan iklim mengingat kebakaran tersebut menyebabkan bumi menjadi semakin panas. Sehingga suhu bumi yang panas mengakibatkan pemanasan global yang pada akhirnya menuju pada perubahan iklim yang tidak seimbang lagi. Musin panas yang lama disusul dengan musim hujan yang tiada putusnya dan mengakibatkan banjir serta musibah lainnya. Semuanya akibat keseimbangan ekosistem yang tidak terjaga. Dari berbagai dampak yang muncul tersebut seharusnya pemerintah mulai bisa mereka-reka bencana musiman apa sebenarnya yang sering menghampiri Indonesia dari tahun ke tahun dan dampak apa yang ditimbulkan dari bencana tersebut. Namun, untuk tidak menyebut pemerintahan kita keras kepala dan sedikit tuli untuk melakukan refleksi, sepertinya kita lebih siap menjadi barisan pemadam kebakaran dibanding mempersiapkan seperangkat aturan yang mampu paling tidak meminimalisir kemungkinan terjadi kebakaran hutan dan lahan dimasa yang akan datang. Padahal sejak bencana kebakaran hutan yang terjadi di tahun 1997, berbagai studi dan kajian telah dilakukan. Namun entah mengapa hingga sekarang ini pemerintah sepertinya tidak mampu memanfaatkan berbagai kajian yang telah dilakukan tersebut. Bahkan sejumlah bantuan yang diantaranya datang dari UNDP dan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup yang pada tahun 1998 telah menghasilkan Rancang Tindak Pengelolaan Bencana kebakaran-pun seolah tidak mampu dimanfaatkan. Sementara berbagai kajian belum diadopsi, walaupun pemerintah secara eksplisit meminta untuk itu, UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan rancangan pemerintah tentang Perlindungan Hutan dan Konservasi alam juga tidak memberikan perhatian yang memadai bagi upaya penanggulangan kebakaran. Contohnya, larangan membakar hutan yang terdapat dalam UU Kehutanan ternyata dapat dimentahkan untuk tujuan-tujuan khusus sepanjang mendapat izin dari pejabat yang berwenang (pasal 50 ayat 3 huruf d). Dan dengan kebiasaan peraturan undang-undang yang selama ini ada, pengartikulasian dari pasal tersebut tentu saja bisa menurut kepentingan apa dan siapa yang ada pada saat itu. Kasarnya, pasal ini bisa membuka peluang dihidupkannya kembali cara pembukaan lahan dengan cara pembakaran yang selama ini menjadi penyebab bencana kebakaran hutan. Bandingkan dengan negara Malaysia yang memberlakukan kebijakan tegas (tanpa kecuali) tentang larangan pembukaan lahan dengan cara bakar. Undang-Undang ini juga secara tegas memberikan denda sebesar 500.000 ringgit dan/ 5 tahun penjara baik bagi pemilik mapun penggarap lahan. Yang lebih herannya lagi, tidak ada satupun pasal dari UU No 41 tahun 1999 ini yang secara substansial mengatur tentang pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan. Demikian pula halnya dalam RPP Perlindungan Hutan dan PP No. 6 tahun 99 tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil 16 Hutan pada hutan Produksi tidak memberikan referensi tentang pencegahan kebakaran hutan dalam konteks pengusahaan hutan. Otomatis, dengan melihat kebijakan-kebijakan yang ada selama ini, Pemerintah Indonesia belum memiliki sense of crisis terhadap berbagai kasus kebakaran dan dampak yang ditimbulkannya. Sehingga kesan yang muncul kemudian pemerintah hanya memiliki kebijakan setengah hati untuk menanggulangi dan mencegah kebakaran hutan. Upaya Bapedal menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pengendalian Praktek Pembakaran, Kebakaran dan Dampaknya juga dikhawatirkan tidak efektif dikarenakan sebagaimana perangkat peraturan pemerintah (PP) hanyalah mengimplementasikan mandat dari suatu Undang-undang. Sedangkan Undang- Undang No 41 tentang Kehutanan maupun UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup tidak memberikan mandat secara spesifik untuk mengembangkan PP tentang kebakaran hutan. Bentuk PP ini juga memiliki keterbatasan dalam memberlakukan instrumen-instrumen “command and control” (paksaan) maupun insentif ekonomi. Instrumen-instrumen tersebut harus dalam bentuk UU (DPR RI bersama Pemerintah). Dengan demikian adalah suatu hal yang logis apabila masalah pencegahan dan penanggulanan kebakaran hutan dan lahan segera menjadi perhatian dan secara cepat ketentuan-ketentuan tersebut dirumuskan dalam suatu UU yang memuat prinsip-prinsip pencegahan, pemantauan dan penanggulangan yang komprehensif dan terintegrasi. PENUTUP Akibat kebakaran hutan di Propinsi Sumatera Barat dan Riau tidak hanya mengakibatkan kerugian ekonomis dan kerusakan ekosistem. Kita juga dicap sebagai bangsa dan masyarakat yang tidak bisa dan tidak mau memelihara kekayaan alam. Padahal kawasan hutan di Indonesia luasnya mencapai 10 persen dari hutan tropis yang ada di dunia atau ke tiga terbesar setelah Zaire dan Brasil. Dampaknya secara ekologis telah menyebabkan tebalnya asap dan kobaran api yang menjalar luas telah mengakibatkan suhu bumi menjadi panas. Pada akhirnya memberikan dapat terhadap perubahan iklim (climate change). Bumi yang panas akan mempengaruhi suhu udara sehingga musim hujan dan musim kering mengalami perubahan. Dan jika ini dibiarkan berlarut-larut akan dapat menimbulkan kerusakan lingkungan secara global 17 DAFTAR PUSTAKA Arifin, Zainal, Kebakaran Hutan di Riau Semakin Meluas, diakses di www, googgle.com pada tanggal 19 Febuari 2008 Baehaqie, Imam, “Melawan Pencemaran Lingkungan” Penerbit Puspa Swara, Jakarta, 1993 Darmono, “Lingkungan Hidup dan Pencemaran”, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 2001 Hardjasoematri, Koesnadi, Hukum Tata Lingkungan, Edisi ke-tujuh cetakan ke-empat belas, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1999 Husin, Sukanda, “Hukum Internasional tentang Perubahan Iklim”, Jurnal Hukum Internasional Univ. Padjajaran, Bandung, 2002 Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia dan UNDP, Laporan Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia, 1998 Rahmadi, Takdir, Diklat Hukum Lingkungan Internasional, Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, 2000 Rusbiantoro, Dadang, “Global Warming for Beginner”, Penerbit O2, Yogkarta, 2008 Siswanto, Bencana Kebakaran Hutan : Prediksi Dan Penanggulangannya, Majalah Alami, Vol. 3 No. 3 tahun 1998 Sulystiowati, “Tanya Jawab Sekitar Perubahan Iklim”, BPPK Deplu, Jakarta, 2007 Soekanto, Soerjono 2006, “Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat”, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta Wardhana,Wisnu Arya, “Dampak Pencemaran Lingkungan”, Penerbit Andi, Yogyakarta, 2004 West, Bernadette, Peter M. Sandman dkk, “Panduan Lingkungan Hidup”, Penerbit Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2001 Harian Sinar Indonesia Baru tgl 25 Januari 2009. www. kompas.com diakses tgl 6 Januari 2009. www.antara.co.id