Rabu, 25 April 2012

Masalah Cita Cita


Sudah beberapa hari ini media massa ramai memberitakan kasus rekaman hasil penyadapan KPK. Resmilah sudah busuknya institusi Kejaksaan dan Kepolisian. Tapi bukan berarti masyarakat terkejut, paling paling juga sekedar menghela nafas panjang. Ini rahasia umum kan?
Saya tak mau berpanjang lebar memaki. Seperti yang sudah saya ceritakan, saya dulu sempat akrab dengan bapak bapak berseragam. Tak semuanya memang bermoral kelabu.
Baiknya saat ini saya ceritakan satu pengalaman menarik soal bagaimana masyarakat mengekspresikan resistensi dan antipatinya kepada dua institusi tersebut.
Sewaktu saya melakukan fieldwork di Madura beberapa tahun lalu, saya menemu seorang pemuda yang bercita-cita untuk menjadi tentara. Cita cita ini tidak semenarik alasan di belakangnya. Ketika saya tanya kenapa tidak menjadi polisi saja dengan alasan ‘lebih basah’ dan kalau sudah bisa masuk ke dalam kantor ‘bisa ngobyek’? Dia kontan tersenyum lebar.
‘Justru itu mas, saya paling anti dengan kelakuan semacam itu. Saya malu sama masyarakat. Bolehlah saya miskin, tapi kalau pulang tak sampai malu dilihat tetangga.’
Benarlah, seperti peribahasa orang Madura. Boleh putih tulang asal jangan putih mata. Maksudnya, lebih baik terluka fisik hingga tulang terlihat daripada menanggung malu hingga harus menyembunyikan bola mata dari khalayak.
Kebetulan, di daerahnya tersebut, setiap musim tembakau panen polisi akan sering merazia kendaraan yang lewat. Tak peduli truk tembakau atau angkot biasa, semua disapu. Cuma demi pungli yang besarnya, astopiloh, lima ribu!.
Seperti yang terjadi suatu sore ketika saya melintasi daerah bukit menuju Tagangser Laok, desa tempat saya melakukan fieldwork. Ada 4 sampai 6 petugas bersenjata (di mata saya terlihat seperti Uzi Kalashnikov, tapi tak mungkinlah. Ini kan bukan Afghanistan) yang tiba-tiba menghentikan angkutan umum yang saya tumpangi. Mereka membentak sopir dan penumpang menyeru agar penumpang yang membawa narkoba (sic!) atau imigran illegal dari Malaysia segera menyerahkan diri saja. Jantung saya berdegup kencang. Saya memang bukan pengedar narkoba apalagi imigran gelap, tapi untuk tuduhan seberat itu bisa saja ada orang yang sengaja menaruh sesuatu ke tas saya. Bukan sekali dua kali saya mendengar polisi sengaja menaruh barang haram di tas seseorang agar ia bisa ditangkap. Biasanya target operasi yang licin. Agar singkat, polisi tangkap saja orang itu. Barang buktinya ditaruh sekalian di tasnya.
Batin saya dalam hati, saya mahasiswa UGM, kalau kenapa kenapa status UGM saya sakti kok. Pak Camat aja hormat sama kita. Lagi pula urine saya bersih. Terakhir kali hirup pot, tahun lalu apa ya. *Maklum mahasiswa yang sok Ngamerika.
Para petugas segera merangsek ke dalam angkot dan menyeret keluar seorang pedagang jamu sambil menyuruh semua penumpang turun dari mobil. Si pedagang, anak muda berumur belasan, tersenyum kecut sambil terpaksa membuka koper yang ia bawa. Beberapa jamu cap nona meneer terlihat berdesakan diantara bungkusan bungkusan plastik. Pak petugas segera memeriksanya dengan acuh tak acuh, sambil berceramah tentang barang kadaluarsa dan penipuan konsumen. *Lho, bukannya tadi tuduhannya bawa narkoba ya?
Sopir angkot yang saya tumpangi segera membaca situasi dan mendekati sang bapak pemimpin operasi. Mereka kasak kusuk di belakang mobil. Beberapa menit kemudian, sopir angkot menyuruh semua penumpang naik dan melanjutkan perjalanan.
Begitu saja? Ternyata para petugas cuma mau minta setoran. Aksi teatrikal ala penyergapan bandar narkoba turns out cuma bumbu saja.
Tunggu dulu, ceritanya belum selesai. Beberapa puluh meter di depan kemudian angkot tiba tiba berhenti lagi. Kali ini yang menyetop dua pria berseragam membawa mobil dinas. (Kali ini, tampaknya buayanya. Kalo yang tadi cicak mungkin ya.) Sopir angkot segera sigap dan meremas uang lima ribuan untuk disalamtempelkan. Mobil pun melenggang kangkung.
Masyarakat petani tembakau sudah mafhum dengan tradisi ini. Dan mereka muak. Berkali kali saya dengar cerita anak muda yang bangga bisa memperdaya polisi dengan berbagai cara. Seakan di alam bawah sadar mereka, ada luapan kemarahan yang siap meledak. Hasilnya, diantara lain, adalah cerita anak muda tadi. Yang lebih memilih jadi tentara dibanding jadi polisi. Insentifnya, rasa hormat masyarakat.
‘Jadi tentara itu bela negeri mas. Bangga saya.’
Ini serius. Sepuluh dua puluh tahun ke depan, orang orang yang punya hati nurani bakal emoh mendaftar jadi polisi. Padahal, sekarang saja yang punya hati nurani di kepolisian mungkin tidak sebanyak jamannya polisi Hoegeng.*Sambil mengingat jokenya GusDur; polisi yang tak bisa disuap cuma Hoegeng dan polisi tidur!
Saya baru saja membaca sebuah komentar untuk artikel ‘Institusinya Kotor, Kapolri dan Jaksa Agung Diminta Mundur’ di situs pembaca kompas. Baiknya saya salin-tempel saja, agar akurat:
Ersal @ Rabu, 4 November 2009 | 09:52 WIB
Waktu saya masih anak2, saya bangga dengan profesi Polisi dan Jaksa. Setelah remaja sampai saat ini berusia 42 thn, bagi saya, profesi Polisi dan Jaksa memang profesi yang sangat hina. Lebih baik jadi karyawan swasta (Kuli).
Nah lho!


REVIEW

Saya sangat sependapat dengan tulisan di atas. Bagaimana tidak, cita-cita yang seharusnya menjadi kebanggaan Negara , malah dihancurkan dengan perilaku yang tidak seharusnya dilakukan. Pantas saja banyak warga biasa yang benci dengan pekerjaan seperti Polisi atau Jaksa. Jaman sekarang apapun dapat dikalahkan dengan uang. Maka dari itu, jika ada Razia (pemeriksaan stnk) dilakukan , para warga tidak terlalu cemas karena mereka berfikir bahwa jika mereka melakukan kesalahan pun hanya di selipkan selembar uang (biasanya 50 ribu ) polisi sudah bisa memberikan jalan lagi kepada si pengendara. Sama juga dengan jaksa, seperti yang saya pernah ketahui ada suatu kasus sidang yang berjalan tidak sesui dengan undang-undang yang ada, apa itu juga salah satu dari penyuapan, itulah kasus yang sering terjadi di bumi kita ini. Saya bukan bermaksud menjelekkan tetapi saya hanya membahas kasus yang pernah saya alami dan saya lihat. Bagaimana undang-undang dapat diberlakukan jika hukuman itu sendiri bisa di beli. Intinya juga balik lagi ke diri masing-masing.

KASIH SAYANG MENGALAHKAN SEGALANYA

Tujuh puluh enam tahun lalu, Cleda dan Rosemond Frell Blair bersumpah tidak akan terpisahkan. Mereka menepati janjinya, bahkan saat kematian menjemput.
Hanya enam belas jam setelah Cleda, 95 tahun, menghembuskan napas terakhirnya di sebuah rumah pensiun Idaho, pekan lalu, sang suami Rosemond 94 tahun juga meninggal dunia.
"Mereka selalu bersama-sama," ujar putra pasangan itu, Boyd Blair, 68 tahun. "Keduanya tidak terpisahkan dalam hidup dan saya kira juga tidak dapat dipisahkan di tempat yang lebih baik."
Bertemu sebagai siswa sekolah menengah di Lewiston Utah, keduanya jatuh  cinta dan memutuskan menikah. Kisah cinta mereka selamat dari Perang Dunia II, dan hingga memiliki 2 anak, 12 cucu dan 32 cicit.
            Setelah PD II, Frell yang bekerja sebagai seorang mekanik membangun sebuah rumah di Idaho setelah kembali dari Kepulauan Pasifik pada tahun 1946. Beberapa tahun belakangan pasangan harmonis ini tinggal di komunitas pensiun agar lebih dekat dengan keluarga mereka.
Cleda menjalani perjuangan panjang melawan kanker payudara saat kesehatan sang suami menurun darstis. Putra mereka, Boyd, mengatakan sebelum ibunya meninggal, ayahnya memegang tangannya dan menangis. Beberapa jam kemudian, sang ayah pun menyusul.
Dalam obituari bersama untuk Cleda dan Frell, kerabat terdekat mengatakan, mereka menghormati hubungan pasangan Blair, bukan hanya dalam kematian tetapi juga dalam kehidupan. "Warisan mereka adalah cinta dan komitmen satu sama lain dan itulah yang akan paling diingat keluarga."

            Fenomena ini juga terjadi pada pasangan yang menikah selama 65 tahun. Marjorie Landis meninggal dunia setelah menyerah pada penyakit yang menderanya. James, sang suami kemudian meninggal dunia dua jam kemudian karena serangan jantung. Keluarga percaya kematian James karena "patah hati".
Menjadi bagian dari romantisme turun temurun, sindroma patah hati baru-baru ini dibuktikan secara ilmiah. Sebuah laporan pada 2005 di New England Journal of Medicine menyebut  fenomena cardiomyopathy stress, yaitu trauma jantung yang dipicu pelepasan hormon stres dengan cepat.

            Dalam beberapa kasus, hormon stres  yang dilepaskan 30 kali lipat pasien normal. Dr Ilan Wittstein mengatakan, "Menurut teori kami, saat trauma tubuh menghasilkan gelombang hormon stres dalam jumlah besar untuk berjuang atau menyerah, reaksi yang penting bagi kelangsungan hidup," ujar Wittenstein.
Bila diproduksi terlalu cepat, hormon ini bisa langsung menuju jantung dan merugikan otot jantung. Dari studi terhadap 250 pasien ditemukan 2 persen pasien mengalami sindroma patah hati. Studi terbaru juga menemukan, risiko kematian mendadak dalam 24 jam setelah kehilangan pasangan adalah 16 kali lebih tinggi dari biasanya. (umi)



REVIEW

Dari contoh kasus di atas terbukti bahwa cinta dan kasih sayang mengalahkan segalanya. Sungguh mengharukan, ketika saat sang istri meninggal suaminya tak lama juga meninggal, bukan karena berlebihan sikap, tetapi itu semua memang berdasarkan hasrat dari kasih sayang itu sendiri yang membuat mereka tidak ingin terpisahkan.
Kita juga bisa belajar dari kasus di atas, bahwa mencintai dan menyayangi itu tidak mengenal usia, dan dengan siapa kita mengungkapkannya. Tapi bagaimana cara mempertahankan dan menguatkan rasa sayang itu sendiri. Menurut saya kasih sayang itu juga harus disertai dengan keseriusan. Karena apabila kita hanya menyayangi seseorang tanpa kesungguhan itu rasanya sama saja dengan mempermainkan perasaan contohnya dalam menjalin hubungan dengan seseorang apabila kita sayang dengan orang tersebut tetapi tidak dengan sungguh-sungguh apakah mungkin hubungan itu akan bertahan lama ? tentu saja tidak. Oleh karena itu belajarlah menyayangi seseorang dengan tulus dan dengan kesungguhan tentunya orang yang kita sayangi tidak akan merasa kecewa.

Senin, 16 April 2012

Contoh Kasus Kekerasan Terhadap Anak Penyandang Cacat


BEIT AWWA, KAMIS — Hanya karena tak mau mempermalukan anak-anaknya yang sehat, sepasang suami istri warga Tepi Barat, Palestina, menyembunyikan dua anak mereka yang cacat selama 40 tahun.
Hanya segelintir warga desa kecil Beit Awwa yang tahu soal Bassam Musalmeh (38) dan kakak perempuannya, Nawal (42). Mereka berdua dikurung di dalam ruang berdinding beton yang kotor dan bau pesing di belakang rumah keluarga. Polisi menemukan mereka dalam penggerebekan pada Selasa (26/8) malam, saat memburu anggota Hamas dan sejumlah penjahat di kota itu. Otoritas Palestina membantah penggerebekan itu untuk memburu anggota Hamas.
Kepala polisi setempat, Samih Saify, mengatakan, ketika anggotanya masuk ke rumah itu, mereka mendengar suara-suara aneh dari bawah dan tergerak untuk menyelidikinya. Mereka kemudian menemukan Bassam dalam keadaan telanjang dan Nawal mengenakan daster tipis. Polisi mengambil gambar mereka. Ibrahim, ayah kedua anak itu, ditangkap meski belum jelas alasan dia mengurung anaknya atau karena terlibat dalam organisasi Hamas.
Karena perhatian media sudah begitu besar, Rabu (27/8), Bassam dan Nawal dimandikan dan diberi pakaian yang pantas. Ruang penyekapan pun sudah dibersihkan dan dirapikan meski bau pesing masih menyengat.
Menurut paman mereka, Mohammed Musalmeh, kedua orang itu belum pernah didiagnosis menderita gangguan mental tertentu. Mereka juga tidak bisa bicara atau mengenal orang lain. Seorang reporter Associated Press masuk ke ruangan Nawal, tempat dia duduk di ranjang besi. Tampaknya perempuan itu tidak menyadari kehadiran orang lain di ruang itu.
Bassam dan Nawal dikurung dalam ruang terpisah yang berhadapan. Ruang itu cukup terang karena mendapat pencahayaan matahari yang cukup, tetapi dikelilingi tembok tinggi sehingga tidak bisa dilihat dari luar. Satu pintu yang menghubungkan ruang itu dengan bangunan utama jarang dibuka.
Kasus ini menyorot kembali rasa malu pada keluarga yang memiliki anak cacat dalam masyarakat Palestina. Kondisi ini semakin parah karena buruknya pelayanan kesehatan dan praktik perkawinan dengan sepupu pertama. Ibrahim menikahi sepupu pertamanya dan menghasilkan delapan anak. Tujuh dari delapan anak mereka cacat dan lima di antaranya meninggal saat masih kecil. Sekarang tinggal Bassam, Nawal, dan satu putra lagi yang sudah menikah.
Banyak komunitas Arab lebih memilih menikah antarsepupu pertama untuk menjaga keturunan dalam keluarga. Ini tidak digolongkan dalam inses. Namun, kurang kesadaran di antara mereka bahwa perkawinan dengan saudara yang terlalu dekat meningkatkan kemungkinan lahir anak dengan cacat bawaan.
Mohammed mengatakan, Ibrahim dan istrinya mengurung kedua anak itu untuk mengindari rasa malu terhadap lingkungan sekitarnya. Banyak orang Arab memberi stigma negatif pada penyandang cacat dan menolak menikah dengan saudara mereka karena takut mendapatkan keturunan cacat pula.
Menurut Mohammed, keluarga itu juga tidak ingin anak-anak mereka menjadi sasaran cemooh dan ejekan yang lazim di desa itu. Ini terlihat ketika wartawan Associated Press minta ditunjukkan arah rumah keluarga itu, warga desa menggambarkan mereka sebagai ‘domba’. “Jika mereka keluar rumah, orang-orang pasti menertawakan,” kata pria berusia 67 tahun itu.
Mohammed juga mengatakan, keluarga itu tidak bisa mendapatkan perawatan jangka panjang untuk kedua bersaudara yang malang itu. Sedangkan Saify berharap Pemerintah Israel bisa menyediakan perawatan itu.
Imad Abumohr, aktivis pembela penyandang cacat Palestina, mengatakan, tidak mungkin mereka mendapatkan perawatan profesional dalam jangka panjang di wilayah Palestina karena fasilitas untuk itu nyaris tidak ada. “Ini menyedihkan, memalukan, sekaligus mengerikan,” katanya.
Menurutnya, kasus keluarga Musalmeh sangat dramatis, tapi bukan tidak pernah terjadi sebelumnya. Kata Abumohr, tahun lalu, organisasinya dipanggil untuk menyelamatkan seorang remaja cacat mental berusia 17 tahun yang dicampakkan ke tempat sampah. Remaja malang itu mengalami luka lecet di perut, leher, tangan, dan kaki yang tampaknya akibat diikat. “Saya yakin banyak kasus orang-orang yang disembunyikan di kawasan pedesaan,” katanya.

REVIEW
SADIS! Kata yang terucap pertama kali ketika saya membaca artikel di atas. Mengapa mereka sangat tega kepada orang- orang yang mempunyai kekurangan fisik dan mental. Sungguh sangat tidak berperikemanusiaan. Mereka fikir, dengan mereka memperlakukan tindakan tidak manusiawi tersebut tidak akan mengganggu batinnya ? tentu saja ia, bahkan lebih parah dari itu.
Mereka yang tadinya mungkin mempunyai sedikit semangat hidup seketika hilang ketika orang lain atau keluarganya sendiri menjatuhkannya. Seandainya posisi itu kita balik pasti kita pun tidak akan semudah itu sanggup untuk menerimanya. Kita harus menahan rasa malu apabila kita di cemooh oleh orang lain bahkan parahnya lagi ketika kita tidak dihargai atau mungkin di asingkan oleh orang lain. Sungguh sangat menyedihkan, oleh sebab itu, kita sesama manusia ciptaanNYA harus saling menghargai dan menghormati keadaan orang lain juga sebagai rasa bersyukur kita terhadapNYA.

Kesepian itu bisa membunuh!


Jangan biarkan orang terdekat Anda merasa kesepian!
Hm… siapa bilang berumur panjang itu enak? Bila orang menghadapi usia lanjut seorang diri karena anggota keluarganya sudah tidak tinggal bersama lagi, yang terjadi adalah rasa kesepian. Lalu, ada fakta yang belum diketahui kebanyakan orang.
Jangan mengira bahwa efek dari kesepian yang dialami orang-orang tua hanya terasa dari sisi psikologis. Misalnya, merasa ditinggalkan atau diabaikan. Padahal, kerusakan fisik yang terjadi bisa mengancam kesehatan, sama besarnya dengan obesitas atau merokok.
Hampir satu dari 10 orang lanjut usia menderita kesepian yang intens, sehingga meningkatkan risiko depresi, kurang olahraga, dan kebiasaan makan yang buruk. Oleh karena itu, Age UK Oxfordshire, Counsel And Care, Independent Age, dan WRVS, menggelar Campaign to End Loneliness. Mereka menuntut pengakuan yang lebih besar dari para profesional di bidang kesehatan mengenai hubungan antara kesepian dan kesehatan yang buruk. Tim peneliti ini juga meminta kewaspadaan yang lebih tinggi mengenai kesepian, dan pengaruhnya yang begitu merugikan kaum lansia.
Menurut polling yang melibatkan 2.200 orang, tak sampai satu dari lima orang pernah mendengar atau membaca informasi mengenai kesepian sebagai risiko kesehatan. “Kita perlu mempertimbangkan implikasi emosional dan psikologis tentang jumlah kaum lansia yang semakin banyak,” ujar Andrew Barnett dari Calouste Gulbenkian Foundation, yang membiayai kampanye ini.
The World Health Organisation juga menilai kesepian memberikan risiko yang lebih tinggi daripada merokok, dan sama berisikonya dengan diabetes. Dikatakan para peneliti, kurangnya interaksi sosial juga meningkatkan peluang kaum lansia mengidap penyakit degeneratif seperti Alzheimer.
Meningkatnya kasus kesepian pada orang tua sebagian disebabkan oleh bertambahnya harapan hidupnya, dan kehidupan anggota keluarganya yang terpencar-pencar. Lebih dari separuh dari orang usia 75 tahun yang hidup sendiri, dan sekitar satu dari 10 orang tua mengidap kesepian yang kronis. Sedih, ya.
KOMPAS.com

REVIEW
Kesepian itu memang salah satu penyakit jiwa yang sangat mematikan. Bayangkan saja jika seseorang yang merasakan kesepian entah itu karena tidak mempunyai pasangan atau hanya sekedar teman. Kesepian juga tidak mengenal usia. Terkadang jika kita merasa sepi selalu mempunyai pikiran yang kalut sehingga kejadian selalu ingin bermalas-malasan bahkan juga hanya sekedar untuk makan pun tak mau. Apalagi kesepian itu juga mengusik kejiwa, Itulah sebabnya mengapa kesepian itu benar-benar mematikan.